Tim Van Damme Inspired by Tim Vand Damme
blogger. Diberdayakan oleh Blogger.
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About me

Foto saya
kelahiran Solok 29 April 1985. Besar di kenagarian Saniang Baka. Berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. "Pinangan Orang Ladang" kumpulan puisi pertamanya yang terbit tahun 2009 (FramePublishing, Jogja). Di blog ini akan ditayangkan puisi-puisi saya yang sudah terbit di beberapa media ataupun yang belum diterbitkan. Selamat membaca, semoga mendapatkan sesuatu di dalamnya!

Network

Blog

Sabtu, 04 September 2010

Sehabis Menonton Bioskop di Pasaraya

0 komentar
—cerita buat deddy arsya




“selepas ini tak bakal ada lagi sajak untukku,” getar suaramu
getar yang selalu terpukau oleh sajak-sajak tentang pisau

dan di pantai padang, cinta adalah cerita antah berantah, dari jauh
ikan melepas sisik lalu mengirimnya ke sehamparan pasir panjang

aku dan kau duduk, di pondok, di antara dua batang kelapa hijau
di ketenangannya aku bacakan sajak yang amat begitu panjang

“selepas ini tak bakal ada lagi sajak untukku,” kau bergurau
aku jadi hirau mengingat hari depan yang serupa sampan karam

di tepi laut, awan berarak hitam dan gabak berbunyi menggelegar
dengan sebotol teh dan sekerat goreng maco sajak aku tuntaskan

oalah, cinta begitu ngilu dibanding film di bioskop pasaraya, dan
lebih ngilu lagi sajak-sajak yang kau suling setiap kali mau berbaring

“selepas ini tak bakal ada lagi sajak untukku,” ucapmu terakhir kali
sebelum simpang lima membuat kita mesti memilih langkah

“aku terus menulisnya tapi tak kuberitaku buat siapa,” kugumamkan
kalimat ini, sembari melepas punggung yang perlahan dihisap jarak


2010
Read more

Di Parkiran Fort Rotterdam

0 komentar
—cerita buat Anata Aulia Kautsar




kami duduk berempat
dekat beringin lama yang daunnya tak bergerak sama sekali
udara mati
di sebalik aku dengar
orang-orang bercerita tentang cumbuan mereka kemarin malam
sementara temanku bercerita tentang hantu bule
yang hilang-timbul dari lapis-lapis batuan dinding

kudukku jadi dingin dan merinding
serasa kali pertama mencoba ciuman di bagian bibir

fort rotterdam jam 8 malam
aku membayangkan ledakan pecah dimana-mana

sementara orang-orang berhamburan meninggalkan kekasihnya
meninggalkan kegenitan yang selalu dibahasakan dengan dekapan

malam begitu saja lewat. sehabis cerita hantu
temanku mengisahkan seorang perempuan
yang mati gantung diri di salah satu dahan beringin
aku jadi ingat rencana kematian kekasihku
rencana kematianku juga
rencana yang gairahnya
menandingi gairah pertama kali mencoba ciuman

di sini udara telah berulangkali mati terbunuh
angin diam teramat kosong
percakapan mulai terdengar seperti selonsong peluru lepas
: di jauh ada luka, di sini perihnya tertahan
satunya kandas, yang lainnya tumpas....

malam begitu saja lewat, kami tinggal bertiga
kami mulai menerjemah percakapan orang-orang
yang sesekali terdengar serupa teriakan kesakitan

ada udara yang mati lagi
jatuhan daun beringin pertandanya


2010
Read more

Dalam Sebotol Arak

0 komentar
—cerita buat karno babatiran




dalam sebotol arak kiriman teman bali
ingatan tentang geraian rambutmu bangkit dengan sendiri
di ruang tunggu bandara ini
setelah semuanya lepas
setelah semuanya kandas

secarik kertas aku genggam
ada hari dan jam keberangkatan yang sama
hanya saja cuaca begitu beda dari balik kaca

di landasan angin begitu kencang
beberapa helai daun berpiuh
lalu terbang berhamburan
(angin dan daun itu aku bayangkan sebagai
gerakan lengan si pemintal yang menerima
tanda bahwa benang layangan segera putus)

juga kabut, atau barangkali gaib dari debu hablur di luar
sebuah lagu tiba-tiba bergema dari pengeras suara
—lagu lama yang pernah membuat matamu berat
membendung gerakan hujan yang timbul dengan hebat
dari getar dada

mendengar itu aku jadi ingat punggungmu
punggung yang pernah aku lepas
dengan cara yang tak begitu jelas


2010
Read more

Minggu, 22 Agustus 2010

Menuju Kritik Ringan, Apresiatif, dan Populis

0 komentar
Oleh: Esha Tegar Putra



Anggapan mengenai kesusastraan Sumbar (baca: Sumatra Barat) yang semakin “baik” barangkali benar adanya. Secara kuantitas, terlihat dari penyebaran karya-karya sastra yang lahir dari penulis-penulis Sumbar. Tulisan ini bukan untuk mengelu-elukan penulis sastra, juga bukan menjamah wilayah kritik sebuah karya, tapi sebatas wacana memunculkan kritik sastra yang ideal. Kritik objektif di mana karya akan diterima secara layak oleh masyarakat luas.

Sebagaimana Afri Meldam mempertanyakan keberadaan kritik(us) sastra melalui tulisannya yang berjudul “Apa Kabar Kritik(us) Sastra Sumbar?” (Padek, 21 /2/ 2010) dan sisambung Joni Syahputra dalam “Minim Kritikus Sastra; Menunggu Rekasi Tertua” (Padek, 28/ 2/ 2020)—di sini agak sedikit ambigu antara judul “tertua” dengan isi tulisan tertulis “tetua”.


Krisis Kritik

Persoalan sastra dengan kurangnya (minim) kritik merupakan persoalan klasik. Keluhan tersebut tidak saja terjadi di Sumbar, bahkan Indonesia. Adakah sebabnya karena ranah kritik bukanlah akar dari kebudayaan kita, sehingga kita abai terhadap kritik? Ada baiknya kita menengok lagi ke belakang mengenai kritik dan kesejarahannya.

Konon kritik berawal dari Xenophanes dan Heraclitus (Yunani, 500 SM) yang mengecam Homerus melalui karya-karyanya yang dianggap kebohongan belaka dan tidak senonoh mengenai dewa-dewi. Sehingga Plato, seorang pemikir besar menganggap peristiwa tersebut merupakan pertentangan purba antara komedi dan filsafat.

Keterbukaan kritik berlanjut pada karya Euripides, seorang penyair tragedi. Kritik ini dilakukan oleh penyair komedi Aristophanes (405 SM), karena Euripides dianggap terlampau menjunjung tinggi nilai seni, dan luput terhadap nilai sosial yang melatari syair-syairnya. Dari sinilah berpangkal istilah krites (hakim), kata kerja krinein (menghakimi), criterion (dasar penghakiman), dan muncul kritikos (hakim karya sastra).

Jauh setelah itu, di Inggris John Dryren di tahun 1677 dalam pengantar The State of Innocene, memunculkan istilah criticism sebagai pengaminan chatarsis dalam Poeticsnya Aristoteles. Barulah Bouhours (1687) di Prancis memunculkan istilah critique dalam Manierre de bien penser—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Art of Critism.Bagaimana dengan permunculan kritik di Indonesia?

Di Indonesia istilah kritik sastra muncul di awal abad ke-20, bukanlah sejarah yang panjang dibanding Barat. Barangkali ini pangkal untuk menemukan hubungan karya sastra dengan kultur masyarakat yang melingkarinya. Di awal abad 20-an tersebut, Tirto Adhi Soerjo telah berkomentar mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Bahkan majalah Pandji Poestaka menyediakan rubrik “Memandjoekan Kesoesastraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisyahbana. Maman S Mahayana berungkap, edisi 5 Juli 1932 di majalah Pandji Poestaka muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesastraan”, bahkan di edisi November 1932—Maret 1933 berturut-turut Alisyahbana menulis artikel “Menoedjoe Kesoesastraan Baroe”. Secara jelas artikel-artikel di atas memakai istilah “kritik” pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia.

Dari awal munculnya istilah kritik sastra Indonesia sampai kritik mutakhir, pola dan sistim kerjanya terus berubah, bahkan mempunyai setiap dekade mempunyai standar tertentu. Bisa saja persoalan ini muncul karena rezim kekuasaan, kebaruan karya, atau pola pikir kritikus yang mengikuti perkembangan kritik di Barat. Sebut saja laku kritik, pada dan setelah kependudukan Jepang di Indonesia. Melalui konsep estetik, kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan, serta humanisme universal menjadi perdebatan sengit melalui karya-karya sastra Angkatan 45.

Berlanjut pula polemik terhadap karya-karya sastra yang dimunculkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang memberi ide untuk HB Jassin menulis buku kritik sastra Indonesia, juga Teew menulis buku Pokok dan Tokoh. Sampai pada rezim Orde Baru yang menentukan konsep kerja dan laku kritik dalam perdebatan dua aliran, antara aliran Rawamangun dan Ganzeit. Inilah yang membuat kritik sastra menjadi kajian penting dalam institusi yang bergerak di jalur kesusastraan.

Yang menjadi pertanyaaan saat ini, kenapa—jika pada dekade 1920-an sampai 1990-an muncul kritik sastra dari Alisyahbana, HB. Jassin sampai Pradopo, Esten, Damono, dll—pada dekade kemunculan karya sastra mutahkir ini terjadi krisis kritik? Barangkali berawal dari ini Afri Meldam dan Joni Syahputra mempertanyakan tentang keberadaan kritikus di Sumbar.


Siasat Krisis Kritik

Pada diskusi refleksi setahun sastra Sumbar di markas Magistra pada malam pergantian tahun (30/12/2009) telah dibahas juga persoalan ini. Tiga uraian pemakalah, yakni Romi Zarman, Deddy Arsya, dan Papa Rusli Marzuki Saria memunculkan silang pendapat. Deddy Arsya menganggap bahwasanya tidak adanya penulis sastra dari Sumbar yang intens mengangkat kesejarahan. Sedangkan Romi Zarman memaparkan sistematis kerja kesusastraan (karya, kritikus, media, pembaca), dan Papa Rusli lebih fokus pada muatan karya melalui studi yang akan membuat karya lebih menggema.

Tetap saja persoalan berhulu dari karya dan bermuara pada pengharapan adanya toekang kritik yang mahir dan bijak-bestari. Apakah kita akan terus berharap pada kritikus di luar daerah sana? Anggapan saya, tentulah ada yang berharap. Ada juga yang membiarkan begitu saja karyanya beredar di halaman-halaman sastra, semisal koran. Dibaca orang, lalu terserah pembaca apakah mereka mengganggap karya sebagai narasi “pencerahan” atau tidak. Syukur-syukur ada penikmat sastra yang mengkliping halaman koran tersebut sebegai referensi. Jika tidak, tentulah halaman koran tersebut jadi alas duduk di kereta api, terbuang, dipungut pemulung untuk dijual kiloan. Jadilah karya pembungkus nasi ramas, gorengan, ikan teri dan terasi. Hal yang jauh dari jangkauan kritikus tentunya.

Apakah sebaiknya kita berharap laku kritik muncul dari institusi formal atau informal yang bergerak di bidang sastra; semisal fakultas sastra, dewan kesenian, komunitas-komunitas sastra—seperti anggapan Joni Syahputra tentang adanya proses yang salah? Memang benar adanya, fakultas sastra dengan beragam jurusan termasuk Sastra Indonesia, dipersiapkan untuk melahirkan akademisi (kritikus) sastra dengan ketajaman pisau analisis dan ragam teori anyar-nya, dari strukturalis beku sampai lesatan postmodern. Akan tetapi laku kritik formal berbeda dengan laku kritik informal.

Pada tataran ini saya setuju dengan Mahayana dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia (hal 248-249) yang menyatakan penulis kritik sastra relatif sedikit karena menyangkut minat dan juga dosen atau mahasiswa sastra sangat sedikit yang rajin mengkritik sastra dalam bentuk artikel di media massa. Menulis artikel ibarat salah satu sekrup dari mesin raksasasa yang bernama kewajiba rutin. Juga penghadiran kritik sastra dengan teori canggih dan metodologi akurat di wilayah akademik (formal) berbeda dengan penghadiran pada masyarakat yang sifatnya lebih populer (informal).

Dibutuhkan kepiawaian bagi akademisi sastra untuk merubah kertas kerja semacam artikel dan skripsi untuk menjadi artikel lepas yang mudah dipahami oleh masyarakat umum—hal ini yang sebenarnya harus dibawahi.

Bagaimana dengan institusi non-formal? Jika para penulis sastra berharap penuh pada institusi non-formal seperti dewan kesenian dan komunitas-komunitas sastra untuk meningkatkan laku kritik terhadap karya, tentu juga tak bisa. Barangkali baru Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang berani dan intens mengadakan sayembara penulisan kritik. Atau barangkali Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) sanggup menghadirkan sayembara kritik di ruang lingkup daerah dengan mengapresiasi karya anak daerah? Juga Balai Bahasa, Putaka Daerah, dengan menambahkan list sayembara kritik sastra?

Jadi di mana letak benang merah yang akan mendekatkan karya dengan pembaca jika karya tidak digawangi oleh kritik? Bagaimana pula pengharapan Joni Syahputra terhadap tetua (tanpa tanda kutip) untuk mengetahui letak salah dan kekurangan (tanpa tanda kutip)—dan jika ada kata tua, pastinya ada kata muda, sebentuk menara gading yang harus dihancurkan dalam dunia proses kreatif. Dan salah-kurang berupa nilai berlawanan karya sastra merupa proses kerja estetik yang harus direka diberi makna.

Kiranya untuk ukuran kesusastraan kita di Sumbar ruang untuk kritik terbuka lebar di halaman budaya koran-koran lokal, tak mungkin berharap pada redaktur sastra yang sudah repot menyeleksi dan memberi ruang, atau berharap tetua menulis kritik karya secara berkala.

Siapapun berhak dan bisa menulis kritik apresiatif. Bahkan seorang pencipta karya pun berpantang membahas karya penulis lain. Inilah istilah “kiper maju” untuk pencipta yang juga pengkritik, barangkali solutif bagi pertanyaan-pertanyaan tentang krisis kritikus. Untuk itu, anggapan tentang kritik sastra itu “berat” harus ditepis dengan sosialisasi penulisan kritik (telaah) “ringan”, apresiatif dan populis, agar ruang kritik merupa pintu bagi siapa saja. Juga penerimaan masyarakat terhadap karya sastra, melalui pembacaan telaah ringan lebih mudah termaknai.

Sungguh persoalan krisis kritik bukan hanya dikarenakan kurang atau tidak adanya kritikus. Tapi disebabkan juga karena adanya kaum anti-kritik yang menganggap laku kritik sastra akan “membunuh” karya dan karakter. Laku kritik juga tidak cukup dengan “rasa” saja, tapi “logika”, jika benar ingin kritik bersih dari beragam gangguan di luar karya.

Laku kritik juga bukan sebuah laku untuk mempertanyakan siapa yang berhak jadi sastrawan (seperti essai JE. Tetangkeng tahunan silam), atau sikap pesimistis yang menganggap sirkum kepenulisan Sumbar bak terseret ke dalam lingkaran setan. Laku kritik harus berlandaskan teks karya, tidak sebagai pengmatan dari cara berjalan, cara berdialektika-berwacana. Sebab laku kritik bukan corong infotaimen, bukan laku “pembunuhan” tapi pemaknaan terhadap teks karya baik yang tersirat (implicit) atau yang tersurat (explicit).

Jikapun boleh dipakai istilah “membunuh” di titik kulminasi kritik, tentulah kritik yang cermat akan “membunuh” berlandaskan filosofi silat Minang: mahampang-malapehan, mambunuh-maiduik’an… dengan begitu kritik benar-benar telah menjadi pijakan untuk mengukuhkan nilai-nilai manusiawi dalam karya (teks), telah menempatkan karya pada arti dan nilai yang sepantasnya. Bagaimana, adakah setelah ini yang berminat menulis kritik (telaah) ringan, apresiatif dan populis?
Read more

Dari Tema Cinta Sampai Variasi Kematian (Kumpulan Cerpen Agus Noor "Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia")

0 komentar
Oleh Esha Tegar Putra*


Maneka, kamu tidak akan pernah mengira.
Aku berada di sebuah negara, yang tidak ada di Dunia....


Kutipan di atas adalah isi kartu pos yang pernah dikirimkan Sukab kepada Maneka, tokoh dalam cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (selanjutnya ditulis SBPID) karangan Agus Noor, sekaligus menjadi judul buku kumpulan cerpen terbarunya. Tokoh Maneka adalah perempuan beruntung, juga Alina, perempuan yang dicemburui Maneka karena pernah beberapa kali juga dikirimi kartu pos oleh Sukab.

Bukan sekedar cinta biasa, begitulah saya menelisik cerpen SBPIBN (hal. 55-69), sekaligus memberi tanda tanya, sebelum melanjutkan membaca cerpen-cerpen lainnya. Narasi literer yang diciptakan Agus Noor dalam cerpen SBPID adalah sesuatu yang entah, yang membawa imajinasi saya ke dunia lain, di luar dunia yang saya fahami.
Bayangkan saja tukang pos yang mengantar surat dengan kuda sembrani terbang, negeri senja, di mana potongan dari senja tersebut dijadikan lembaran kartu pos. Kiriman potongan telinga, kiriman potongan bibir yang bisa menghibur; dan jangan-jangan potongan bibir tersebut kepunyaan tukang kibul, atau potongan bibir calon presiden? Sungguh fantasi tersebut hanya saya temui dari film-film kartun yang diangkat dari folklor dunia barat. Juga pada cerpen berjudul Permen (hal. 43-54), di sini hadir penceritaan tentang peri-peri mungil seukuran capung dengan bantal yang terbuat dari buah-buahan. Hadir juga penyihir yang menyihir dan menjadikan bantal peri sebagai permen.

Di sinilah letak keunikan karya sastra, terkhusus cerpen. Ada sesuatu yang lain di luar cerita itu sendiri, rangkaian cerita yang bisa ditarik kemana saja, ke masa lalu, sekarang, atau masa depan. Karya sastra juga tak tertutup kemungkinan dimaknai dalam berbagai hal, ditelisik dengan beragam rupa.

Terkadang saya teringat potongan-potongan visual sinetron atau berita kriminal. Karya sastra-kah siasat untuk mengimbangi “candu sinetron” atau “belitan berita kriminal” yang telah dipasakkan ke pikiran masyarakat? Pertanyaan tersebut akhirnya dikembalikan lagi pada pembaca.

Cerpen SBPIBN juga mengingatkan saya pada cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan judul Sepotong Senja untuk Pacarku. Sebagaimana juga di bagian akhir cerpen tersebut Agus Noor mendedikasikannya untuk Seno. Di bagian inilah saya melihat hubungan antar teks dalam cerpen Agus Noor dan Seno, dalam ide penceritaan. Sebagaimana halnya karya sastra yang musykil hadir tanpa adanya pengaruh dari karya sastra yang terdahulu. Seperti obat peransang, hadirnya karya sastra mesti digenapkan dengan membaca karya sastra lainnya.

Perhatian saya tentang intertekstual karya Agus Noor dan Seno juga terpaut pada cerpen Empat Cerita Buat Cinta di variasi yang pertama, Pemetik Air Mata (hal 1-11). Cerpen Empat Cerita Buat Cinta merupakan empat cerita yang (pernah dimuat di beberapa surat kabar) digabungkan menjadi satu cerpen, barangkali karena tema yang sama, yakni “universalitas cinta”, bagiannya terdiri dari: Pemetik Air Mata, Penyemai Sunyi, Penjahit Kesedihan, Pelancong Kepedihan.

Bagian Pemetik Air mata ini bisa dipastikan intertekstualitas dari cerpen Pelajaran Mengarang, karya Seno. Bagaimana tidak, di cerpen ini tokoh yang dihadirkan Agus Noor, hadir sebagi tokoh yang juga pernah dimunculkan Seno. Sebut saja Sandra, tokoh utama dalam cerpen Seno yang disuruh guru pelajaran Bahasa Indonesianya untuk mengarang tentang keluarga. Sandra tak tahu harus menulis apa, sampai-sampai ia hanya menulis “ibuku seorang pelacur....”

Sandra (Seno) dalam Pelajaran Mengarang dihadirkan lagi sebagai Sandra (Agus Noor) dalam Pemetik Air Mata. Tapi bukan Sandra kecil lagi, Sandra sudah dewasa, dan posisinya dalam cerpen Agus Noor hampir menyamai tokoh ibunya dalam cerpen Seno. Jika ibu Sandra oleh Seno dihadirkan sebagai sosok seorang pelacur, kini Sandra oleh Agus Noor adalah seorang istri simpanan. Dan apa yang dirasakan sandra sepuluh tahun lalu barangkali dirasakan anaknya sekarang.

Cerpen Pelajaran Mengarang Seno menjadi menjadi prior texs (teks terdahulu), cikal-bakal cerpen Pemetik Air Mata Agus Noor. Hal ini bukan sekedar presuppotionsition atau perkiraan adanya teks baru seperti yang sering diistilahkan dalam kajian intertekstual. Tapi sesuatu yang mutlak, interteks yang dijustifikasi langsung oleh pengarangnya.

Sebagaimana Roland Bartes pernah berungkap, bahwasanya di dalam diri pengarang penuh lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dari karyanya (Endraswara, 2008). Atau barangkali proses lahirnya Pemetik Air Mata dari Pelajaran Mengarang merupakan resepsi yang diucap oleh Julia Kristeva (Junus, 1986:87). Sebab interteks di sini, bukan lagi dalam tataran teks yang sedikit, tapi banyak unsur, meliputi ide cerita. Ini barangkali yang unik dari cerpen Empat Cerita Buat Cinta. Agus Noor mampu melanjutkan cerita dari teks terdahulunya hingga menjadi cerita utuh dengan kekuatan tersendiri.

Yang juga menjadi perhatian saya adalah cerpen berjudul 20 Keping Puzzle Cerita—jika ini masih bisa disebut cerpen. Akhir-akhir ini di beberapa surat kabar dan di beberapa situs jaringan sosial para penyuka sastra gemar membuat cerita-cerita (teramat) singkat seperti ini. Lazimya disebut dengan fiksi mini, dan Agus Noor salah seorang yang gemar membuatnya. Pada 20 Keping Puzzle Cerita, ada dua puluh bagian cerita, di antaranya: Ambulan yang Lewat Tengah Malam, Sirene, Kucing Hitam, Kasus Salah Tangkap, Misteri Mutilasi, dll.

Keping-keping ini berisikan satu hingga dua paragraf, dimana paragraf tersebut terdiri atas tiga sampai lima kalimat. Masing-masing keping bisa saja dihubungkan, bisa berdiri sendiri, bahkan keping ke dua (contohya) bisa dihubungakan dengan keping ke lima belas. Layaknya cerpen dalam pemahaman yang universal, cerita yang habis dibaca sekali duduk, sambil menyeruput segelas kopi dan sebatang rokok kretek, ini bisa dibilang tidak lazim. Hanya saja beberapa ide di dalamnya bisa disingkap, semisal prosa pendek.

Di sini saya contohkan satu keping yang berjudul Kapak: Aku mengingat malam itu sebagai malam mengerikan dalam hidupku. Kau muncul dan berkata, “Kau punya kapak?” // Aapakah kau akan membelah kayu malam-malam begini? // lalu, kau bercerita. “Ada ular dalam kepala istriku. Ular itu datang setiap kali aku tak ada, menyelusup lewat telinga, dan kini mendekam dalam kepalanya. Mungkin kapak ini ada gunanya....”
Bisa saja ini pembacaan Agus Noor atas kejadian-kejadian yang lazim terjadi kini; suami membunuh istri; istri membunuh suami; kasus bunuh diri; mutilasi; cerita hantu yang berdar di masyarakat; dan kasus-kasus kriminal lain yang terjadi atas tekanan hidup yang dialami masyarakat kelas bawah.

20 Keping Puzzle Cerita juga berhubungan, atau bisa dijawab dengan cerpen yang berjudul Perihal Orang Miskin yang Berbahagia (hal. 153-166). Konsep dan gaya penulisan dua cerpen ini hampir sama, di mana terdiri dari dua puluh enam keping cerita yang bisa dipisah atau dihubungkan. Secara keseluruhan keping-keping di dalamnya mengeksplorasi kehidupan orang-orang miskin.

Semisal orang miskin yang mendapat kartu tanda miskin dan ia bahagia telah diakui sebagai orang miskin—lucunya, orang miskin tersebut akan menjadikan kartu tanda miskinnya untuk menggesek (layaknya kartu ATM) seketika ia berbelanja. Atau orang miskin yang bersyukur dari dulu keturunannya miskin. Orang miskin yang hidup lagi gara-gara keluarganya tidak mampu membeli kain kafan. Orang miskin yang punya ponsel, dll.

Anggapan saya tentang cerpen Perihal Orang Miskin yang Berbahagia merupakan jawaban dari 20 Keping Puzzle Cerita, dikarenakan kritik sosialnya saling mendekati. Bayangkan saja jika semua orang miskin berbahagia meski hidup tertekan, seperti dalam cerita. Tentu tak akan terjadi kasus-kasus—semisal pembunuhan—seperti yang terjadi dalam 20 Keping Puzzle Cerita.

Beberapa cerpen di atas tak menutup kemungkinan untuk menikmati cerpen-cerpen Agus Noor yang lain. Kebanyakan dari cerpen tersebut sudah dimuat di beberapa media. Hanya saja beberapa cerpen tersebut digabungkan dalam satu keutuhan lain, hampir saja tak dikenali. Seperti cerpen Empat Cerita Buat Cinta yang sudah dibahas di atas. Ada juga cerpen dengan judul Cerita yang Menetas dari Pohon Natal (hal. 82-113) terdiri dari cerpen Parousia, Mawar di Tiang Gantungan, dan Serenade Kunang-kunang.

Juga pada cerpen Kartu Pos dari Surga (hal. 35-42) yang kisahnya begitu memilukan. Kisah di mana seorang anak menunggu kartu pos dari ibunya. Padahal ibunya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat, dan pesawat tersebut tidak ditemukan karena jatuh ke laut. Cerita ini (barangkali) terispirasi dari kejadian yang nyata terjadi di negeri ini beberapa waktu yang lalu—barangkali ini kritikan terhadap pemerintah yang lalai menanggapi persoalan kelayakan terbang sebuah maskapai.
Ada juga cerpen berjudul Episode, kisah seorang anak yang menggambar sesuai dengan kejadian yang dialami keluarganya. Cerpen ini terdiri dari tiga belas fragmen (disusun seperti puzzle?) bisa diacak membacanya.

Sembilan cerpen yang tergabung dalam SBPID mempunyai keunikan masing-masing. Agus Noor dengan lihai menggarap tema-tema kecil dari persoalan (yang biasanya dianggap) kecil dalam keseharian—menghadirkan kisah-kisah yang berbeda dari kisah-kisah yang kebanyakan dieksplorasi secara sarkas di televisi, dalam sinetron, atau pemberitaan kriminal.

Seperti yang dikatakan penerbit di bagian belakang buku: Agus Noor menghadirkan cinta, sensualitas, sampai memori kekejaman politik dan religiositas, terasa subtil dalam bahasa puitis dan seringkali mengejutkan. Tapi bagi saya ini terllau berlebihan, tentunya ini bukan “puncak prosa” Agus Noor—seperti juga tertulis di bagian yang sama. Sebab di antara banyak cerpennya—seperti yang penulis sebut di atas—kepengarangan Agus Noor seperti dirasuki penuh oleh persoalan yang selama ini dihadirkan oleh Seno dalam karyanya (?).
Read more

Sabtu, 14 Agustus 2010

DI NEGERI PARA SASTRAWAN

0 komentar
Oleh: Esha Tegar Putra


Ada candaan satir dari orang-orang di luar Sumatra Barat (Sumbar), bahwasanya: dari 10 orang Minangkabau (konteks budaya, lain dari administratif pemerintahan), 9 di antaranya menjadi pedagang, dan 1-nya menjadi penulis. Bisa dihitung jika candaan yang satir itu benar adanya—silahkan dihitung sendiri perbandingannya dari hasil sensus penduduk terbaru.

Candaan tersebut mengingatkan saya pada drama seri-bersambung yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, berjudul “Suami-suami Takut Istri”. Dimana ada dua orang pelakon, suami-istri, mereka barusaha berbicara dalam logat Minang. Sudah barang tentu, di drama seri-bersambung tersebut, dua orang tokohnya merupakan orang Minang. Si suami seorang penulis, si istri ibu rumah tangga yang belum mempunyai anak. Di tiap persoalan ekonomi yang melanda mereka, pastilah akan terus-terusan di bahas: “uda cuma penulis, honor murah, royalti murah, karya uda belum terbit, dst.”

Dari candaan satir dan drama seri Suami-suami Takut Istri saya ingin menguak beberapa persoalan dunia kepenulisan (kesusastraan) di Sumatra Barat yang sebenarnya penting untuk ditanggulangi, bagi pihak yang merasa peduli. Konteks ini di luar teks karya, di luar proses kreatif para penulis sastra.


Media Publikasi

Pertengahan Juli lalu seketika saya mengikuti acara “Forum Sastra Indonesia Hari Ini, Jawa Timur” di Komunitas Salihara, Jakarta. Saya bertemu dan berbincang dengan salah seorang redaktur kolom sastra koran Jakarta. Ia menyatakan ingin datang ke Sumbar, Padang khususnya, karena ia terheran-heran dengan banyaknya kiriman naskah dari para penulis Sumbar. Dan Ia juga mempertanyakan bagaimana proses kreatif kawan-kawan di Sumbar. Apakah ini suatu yang patut di banggakan, atau sebuah candaan, seperti yang saya ungkap di awal tulisan ini? Tentunya ini tak penting untuk dibicarakan.

Kenyataannya memang, karya kawan-kawan di Sumbar mempunyai hubungan yang intim dengan halaman sastra koran-koran Jakarta; dibahasakan dengan koran nasional. Beberapa tahun belakangan, seperti juga yang sering dibahas di halaman budaya Padang Ekspres, muncul nama-nama baru dengan keberagaman ciri khas karyanya masing-masing—meliputi prosa dan puisi.

Selain di koran-koran tak banyak karya penulis-penulis dari Sumbar yang terbit dalam bentuk buku. Bagaimana jika suatu saat kolom-kolom sastra di koran terpaksa ditutup karena tidak dianggap menguntungkan bagi perusahannya? Hal ini bisa saja terjadi suatu kali. Siapa yang peduli? Tentunya para penulis cuma akan mengutuk dengan gaya Jassin: koran yang tidak mempunyai halaman sastra dan budaya adalah koran tidak beradab—koran Barbar, ungkap Zelfeni Wimra.

Tak banyak karya-karya dari penulis Sumbar yang mendapat tempat dan kepercayaan penerbit, apalagi menyangkut puisi. Tak sampai barangkali segenggam jari jika dhitung. Di puisi, selain Gus Tf dengan buku berjudul “Akar Berpilin” yang diterbitkan oleh Gramedia, baru-baru ini terbit “Mangkutak di Negeri Prosaliris” papa Rusli Marzuki Saria. Dan jika boleh disebut penghargaan penerbit, melalui royalti, barangkali Gus Tf yang mendapat royalti yang layak. Papa Rusli, “untung sudah diterbitkan, dibayar dengan buku-pun tak apa royaltinya”, begitulah suatu kali belia bertutur.

Di jalur prosa—sebelum Yetti Aka dengan “Numi”-nya—baru-baru ini terbit karya Zelfeni Wimra dengan “Pengantin Subuh”, Ragdi F Daye dengan “Lelaki Kayu & Perempuan Bawang”, Elly Delfia dengan “Musim Manggaro”, Firdaus dengan “Cincin Kelopak Mawar”, dll—dan urusan royalti tak perlu dipertanyakan lagi, barangkali jika ditanyakan, alasan para penulis ini akan sama dengan pernyataan Papa Rusli.

Nah, jika benar suatu ketika halaman-halaman sastra di koran ditiadakan, mau dikemanakan karya-karya: Ilham Yusardi, Deddy Arsya, Romi Zarman, Chairan Hafzan Yurma, Pinto Anugrah, Arif Rizki, Anda S, Heru JP, Rio Fitra SY, Magriza N Syahti, dan sederetan nama-nama lain yang karya mereka menunggu publikasi halaman koran? (dalam “kasus” ini saya contohkan karya-karya Agus Hernawan. Selain di buku antologi tiga penyair yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Padang bersama Adri Sandra dan Sondri BS, karya beliau tak tersentuh penerbitan). Tentunya kita mesti punya siasat, mesti punya media alternatif lain.

Beberapa tahun belakangan ada program dari pemerintahan tingkat provinsi menyangkut persoalan penerbitan buku penulis-penulis Sumbar, termasuk bagi penulis karya sastra. Program tersebut direkomendasikan langsung oleh Gamawan fauzi, selaku gubernur waktu itu. Meski program dengan dana yang sangat minim dan urusan birokrasi yang rumit, tapi penting dipertanyakan lagi keberadaannya.

Di negeri yang kabarnya tempat lahir dan bertumbuhnya kaum intelektual. Negeri tempat buncahnya karya-karya sastra yang eksotik, ajaib, dan prikitiw. Tentunya akan sangat disayangkan jika karya-karya tersebut tidak difasilitasi dengan penerbitan-penerbitan buku berkala.

Banyak penulis sastra yang beruntung, dan lebih banyak lagi yang tidak, dalam hal penerbitan buku. Di dekade tahun 1970-2000-an barangkali bisa disimak, karya-karya AA. Navis, Wisran Hadi, Darman Moenir, Gus Tf, Yusrizal Kw, Haris Efendi Tahar (dll) mendapat tempat dan kepercayaan oleh penerbit-penerbit di luar Sumbar. Dan tentunya bukan soal kualitas karya, karya penulis-penulis mutakhir Sumbar sekarang menunjukkan gairah yang berbeda, kebaruan yang lain. Saya tidak ingin berhibuk dengan urusan rasa yang mengharu-biru, tapi bisa dibaca sendiri karya-karya para penulis mutakhir tersebut.


Ruang Regenerasi


Selain soal penerbitan yang saya sebutkan di atas, persoalan regenasi kepenulisan sastra di Sumbar tak kalah pentingnya. Barangkali hal ini sudah sering, bahkan teramat sering diperdebatkan di halaman budaya koran ini. Tapi pihak manakah yang siap dan mau untuk mengemban hal tersebut? Kontan saja: Tentunya kaki-tangan Pemerintah, dan mereka yang menganggap sastra itu penting! Pemerintah dengan jejaring di bawahnya, misal Departemen Pendidikan, Pariwisata dan Kebudayaan—atau pisahkan saja depertemen ini—Dewan-dewan Kesenian di Sumatra Barat.

Program-program semacam bengkel kepenulisan sastra yang diadakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat beberapa tahun belakangan punya peran yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya para penulis sastra. Banyak dari generasi terkini, muncul dari mereka yang pernah ikut bengkel kesusastraan bertajuk “Alek Taeh 2005” (diawali dengan lomba puisi tingkat Umum dan Remaja, menghasilkan kumpulan puisi “Dua Episode Pacar Merah”) dan “Bengkel Sastra 2006 Kayutanam”. Dan tentulah bengkel-bengkel semacam ini perlu dipertimbangkan lagi.

Tertuju juga untuk pera penyusun program-program Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) periode 2010-2014 mendatang, perlu diselipkan program ini—karna pengurus DKSB periode saat ini sudah hampir habis masa jabatannya. Selain itu pihak Balai Bahasa semestinya juga mempertimbangkan hal ini. Dimana salah seorang di antaranya pernah menyatakan di surat kabar, bahwasanya lomba cerpen tingkat remaja yang telah diadakan Balai Bahasa telah meningkatkan gairah kepenulisan di Sumbar: Bagaimana jika bengkel sastra Balai Bahasa?

Tulisan saya diatas bukanlah untuk menohok berbagai kalangan yang saya tulis secara “kontan”. Ibarat istilah para pedagang Minang, “iko alah pokok Padang bana nan baadok’an mah…”. Tulisan ini tentunya sebagai siasat, bukan cuma untuk kalangan yang bertanggung jawab mengemban misi kebudayaan (khusus sastra), tapi juga untuk kreatornya sendiri, para penulis-penulis mutakhir Sumbar.
Read more

Sabtu, 07 Agustus 2010

Puisi Saya di Koran Tempo 22 April 2007

0 komentar
Jalan Puisi
fragmen 2

danau pasang. kutulis sebuah pesan singkat di pondok apung
agar kau nikmat

selain dengung takbir yang menelanjangi kekanakanku
ngilu atas rindu makin menggila
terus mencabik-cabik setiap menungku
berkasihlah kekasih, untuk dengung yang datang

kutatap kedalaman, danau yang sedang bercakap dengan hujan
kupesankan lagi padamu:

ini, segaris tanah usai kujengkal
ujung pentasbihan bait-bait hujan
desember menyadap getah waktu
lalu mengaretkannya di kering musim
tapi mengapa kali ini danau pasang? (serupa laut saja)
sedari tadi riak kutunggu, tak jua tiba-tiba



Jalan Puisi
fragmen 4

liukan terus memebentuk temali hujan.
menyamarkan petuah ke lelembah sepi

diammu berucap
”aku akan jadi kupu-kupu. menciumi setiap warna yang kujumpai”

kepakanmu pada daun menjelmakan ketukan panjang
senada dengan hentakan yang kau tarikan
tiba-tiba kita menjadi sepasang waktu, berlarian menuju selatan

kau tarikan daun dengan kepak kupumu
kau berlarian, sebagai sayap menerbangkan setiap kerinduanku



Jalan Puisi
fragmen 6

—daun
jemariku angin, tak kuusap pipimu yang daun
kumasuki pokok tanpa mengetuk helaimu
ah, kularikan sajalah hijaumu.

—pantai

tepianmu yang pantai kujejaki
seiring laut menipu dengan pasangnya
adakah gelombang memberi tanda?

—jalan puisi

jalan puisi. yang menyebut kedalaman
kekasih yang menjemput puisi. bak urat bakau melembab
dan getah pekat yang menyekat hari



Jalan Puisi

fragmen 12

jika kita tak bercakap sebagai angin
bagaimana daun bisa mengatup-ngatupkan helainya
bagaimana sampai hijau atau biru menelusup ke pori
di tepian aku seumpama hanyut ranting
di kedalaman tergulung-gulung
aku melapuk bersama geletang ikan yang tak tampak
rindu aku bersua tampuk, tempat menukik
menceritakan seberapa banyak helai yang jatuh hari ini.

pemahat pernah menyinggahkan rindunya pada kulit
sekarang lapuk aku dengan air
bersama batu atau pasir yang terus mengesekkan pedihnya
hingga sampai ujung arus
tapi belum tampak tanda menuju hulu
terus basah, lapuk digilir menuju entah

siang atau malam tak kenal aku
kurindui pemahat, kurindui daun atau bakal bunga
yang menjuntai di sepanjang tahun kayu
“oh, pernah suatu senja aku berkasih bersama kupu-kupu,
bertukar cerita, menaut pandang, dan berukar resah hari yang pasi”

2006-2007
Read more

JALAN PUISI NO.25 Design by Insight © 2009