Tim Van Damme Inspired by Tim Vand Damme

About me

Foto saya
kelahiran Solok 29 April 1985. Besar di kenagarian Saniang Baka. Berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. "Pinangan Orang Ladang" kumpulan puisi pertamanya yang terbit tahun 2009 (FramePublishing, Jogja). Di blog ini akan ditayangkan puisi-puisi saya yang sudah terbit di beberapa media ataupun yang belum diterbitkan. Selamat membaca, semoga mendapatkan sesuatu di dalamnya!

Network

Blog

Minggu, 22 Agustus 2010

Dari Tema Cinta Sampai Variasi Kematian (Kumpulan Cerpen Agus Noor "Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia")

Oleh Esha Tegar Putra*


Maneka, kamu tidak akan pernah mengira.
Aku berada di sebuah negara, yang tidak ada di Dunia....


Kutipan di atas adalah isi kartu pos yang pernah dikirimkan Sukab kepada Maneka, tokoh dalam cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (selanjutnya ditulis SBPID) karangan Agus Noor, sekaligus menjadi judul buku kumpulan cerpen terbarunya. Tokoh Maneka adalah perempuan beruntung, juga Alina, perempuan yang dicemburui Maneka karena pernah beberapa kali juga dikirimi kartu pos oleh Sukab.

Bukan sekedar cinta biasa, begitulah saya menelisik cerpen SBPIBN (hal. 55-69), sekaligus memberi tanda tanya, sebelum melanjutkan membaca cerpen-cerpen lainnya. Narasi literer yang diciptakan Agus Noor dalam cerpen SBPID adalah sesuatu yang entah, yang membawa imajinasi saya ke dunia lain, di luar dunia yang saya fahami.
Bayangkan saja tukang pos yang mengantar surat dengan kuda sembrani terbang, negeri senja, di mana potongan dari senja tersebut dijadikan lembaran kartu pos. Kiriman potongan telinga, kiriman potongan bibir yang bisa menghibur; dan jangan-jangan potongan bibir tersebut kepunyaan tukang kibul, atau potongan bibir calon presiden? Sungguh fantasi tersebut hanya saya temui dari film-film kartun yang diangkat dari folklor dunia barat. Juga pada cerpen berjudul Permen (hal. 43-54), di sini hadir penceritaan tentang peri-peri mungil seukuran capung dengan bantal yang terbuat dari buah-buahan. Hadir juga penyihir yang menyihir dan menjadikan bantal peri sebagai permen.

Di sinilah letak keunikan karya sastra, terkhusus cerpen. Ada sesuatu yang lain di luar cerita itu sendiri, rangkaian cerita yang bisa ditarik kemana saja, ke masa lalu, sekarang, atau masa depan. Karya sastra juga tak tertutup kemungkinan dimaknai dalam berbagai hal, ditelisik dengan beragam rupa.

Terkadang saya teringat potongan-potongan visual sinetron atau berita kriminal. Karya sastra-kah siasat untuk mengimbangi “candu sinetron” atau “belitan berita kriminal” yang telah dipasakkan ke pikiran masyarakat? Pertanyaan tersebut akhirnya dikembalikan lagi pada pembaca.

Cerpen SBPIBN juga mengingatkan saya pada cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan judul Sepotong Senja untuk Pacarku. Sebagaimana juga di bagian akhir cerpen tersebut Agus Noor mendedikasikannya untuk Seno. Di bagian inilah saya melihat hubungan antar teks dalam cerpen Agus Noor dan Seno, dalam ide penceritaan. Sebagaimana halnya karya sastra yang musykil hadir tanpa adanya pengaruh dari karya sastra yang terdahulu. Seperti obat peransang, hadirnya karya sastra mesti digenapkan dengan membaca karya sastra lainnya.

Perhatian saya tentang intertekstual karya Agus Noor dan Seno juga terpaut pada cerpen Empat Cerita Buat Cinta di variasi yang pertama, Pemetik Air Mata (hal 1-11). Cerpen Empat Cerita Buat Cinta merupakan empat cerita yang (pernah dimuat di beberapa surat kabar) digabungkan menjadi satu cerpen, barangkali karena tema yang sama, yakni “universalitas cinta”, bagiannya terdiri dari: Pemetik Air Mata, Penyemai Sunyi, Penjahit Kesedihan, Pelancong Kepedihan.

Bagian Pemetik Air mata ini bisa dipastikan intertekstualitas dari cerpen Pelajaran Mengarang, karya Seno. Bagaimana tidak, di cerpen ini tokoh yang dihadirkan Agus Noor, hadir sebagi tokoh yang juga pernah dimunculkan Seno. Sebut saja Sandra, tokoh utama dalam cerpen Seno yang disuruh guru pelajaran Bahasa Indonesianya untuk mengarang tentang keluarga. Sandra tak tahu harus menulis apa, sampai-sampai ia hanya menulis “ibuku seorang pelacur....”

Sandra (Seno) dalam Pelajaran Mengarang dihadirkan lagi sebagai Sandra (Agus Noor) dalam Pemetik Air Mata. Tapi bukan Sandra kecil lagi, Sandra sudah dewasa, dan posisinya dalam cerpen Agus Noor hampir menyamai tokoh ibunya dalam cerpen Seno. Jika ibu Sandra oleh Seno dihadirkan sebagai sosok seorang pelacur, kini Sandra oleh Agus Noor adalah seorang istri simpanan. Dan apa yang dirasakan sandra sepuluh tahun lalu barangkali dirasakan anaknya sekarang.

Cerpen Pelajaran Mengarang Seno menjadi menjadi prior texs (teks terdahulu), cikal-bakal cerpen Pemetik Air Mata Agus Noor. Hal ini bukan sekedar presuppotionsition atau perkiraan adanya teks baru seperti yang sering diistilahkan dalam kajian intertekstual. Tapi sesuatu yang mutlak, interteks yang dijustifikasi langsung oleh pengarangnya.

Sebagaimana Roland Bartes pernah berungkap, bahwasanya di dalam diri pengarang penuh lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dari karyanya (Endraswara, 2008). Atau barangkali proses lahirnya Pemetik Air Mata dari Pelajaran Mengarang merupakan resepsi yang diucap oleh Julia Kristeva (Junus, 1986:87). Sebab interteks di sini, bukan lagi dalam tataran teks yang sedikit, tapi banyak unsur, meliputi ide cerita. Ini barangkali yang unik dari cerpen Empat Cerita Buat Cinta. Agus Noor mampu melanjutkan cerita dari teks terdahulunya hingga menjadi cerita utuh dengan kekuatan tersendiri.

Yang juga menjadi perhatian saya adalah cerpen berjudul 20 Keping Puzzle Cerita—jika ini masih bisa disebut cerpen. Akhir-akhir ini di beberapa surat kabar dan di beberapa situs jaringan sosial para penyuka sastra gemar membuat cerita-cerita (teramat) singkat seperti ini. Lazimya disebut dengan fiksi mini, dan Agus Noor salah seorang yang gemar membuatnya. Pada 20 Keping Puzzle Cerita, ada dua puluh bagian cerita, di antaranya: Ambulan yang Lewat Tengah Malam, Sirene, Kucing Hitam, Kasus Salah Tangkap, Misteri Mutilasi, dll.

Keping-keping ini berisikan satu hingga dua paragraf, dimana paragraf tersebut terdiri atas tiga sampai lima kalimat. Masing-masing keping bisa saja dihubungkan, bisa berdiri sendiri, bahkan keping ke dua (contohya) bisa dihubungakan dengan keping ke lima belas. Layaknya cerpen dalam pemahaman yang universal, cerita yang habis dibaca sekali duduk, sambil menyeruput segelas kopi dan sebatang rokok kretek, ini bisa dibilang tidak lazim. Hanya saja beberapa ide di dalamnya bisa disingkap, semisal prosa pendek.

Di sini saya contohkan satu keping yang berjudul Kapak: Aku mengingat malam itu sebagai malam mengerikan dalam hidupku. Kau muncul dan berkata, “Kau punya kapak?” // Aapakah kau akan membelah kayu malam-malam begini? // lalu, kau bercerita. “Ada ular dalam kepala istriku. Ular itu datang setiap kali aku tak ada, menyelusup lewat telinga, dan kini mendekam dalam kepalanya. Mungkin kapak ini ada gunanya....”
Bisa saja ini pembacaan Agus Noor atas kejadian-kejadian yang lazim terjadi kini; suami membunuh istri; istri membunuh suami; kasus bunuh diri; mutilasi; cerita hantu yang berdar di masyarakat; dan kasus-kasus kriminal lain yang terjadi atas tekanan hidup yang dialami masyarakat kelas bawah.

20 Keping Puzzle Cerita juga berhubungan, atau bisa dijawab dengan cerpen yang berjudul Perihal Orang Miskin yang Berbahagia (hal. 153-166). Konsep dan gaya penulisan dua cerpen ini hampir sama, di mana terdiri dari dua puluh enam keping cerita yang bisa dipisah atau dihubungkan. Secara keseluruhan keping-keping di dalamnya mengeksplorasi kehidupan orang-orang miskin.

Semisal orang miskin yang mendapat kartu tanda miskin dan ia bahagia telah diakui sebagai orang miskin—lucunya, orang miskin tersebut akan menjadikan kartu tanda miskinnya untuk menggesek (layaknya kartu ATM) seketika ia berbelanja. Atau orang miskin yang bersyukur dari dulu keturunannya miskin. Orang miskin yang hidup lagi gara-gara keluarganya tidak mampu membeli kain kafan. Orang miskin yang punya ponsel, dll.

Anggapan saya tentang cerpen Perihal Orang Miskin yang Berbahagia merupakan jawaban dari 20 Keping Puzzle Cerita, dikarenakan kritik sosialnya saling mendekati. Bayangkan saja jika semua orang miskin berbahagia meski hidup tertekan, seperti dalam cerita. Tentu tak akan terjadi kasus-kasus—semisal pembunuhan—seperti yang terjadi dalam 20 Keping Puzzle Cerita.

Beberapa cerpen di atas tak menutup kemungkinan untuk menikmati cerpen-cerpen Agus Noor yang lain. Kebanyakan dari cerpen tersebut sudah dimuat di beberapa media. Hanya saja beberapa cerpen tersebut digabungkan dalam satu keutuhan lain, hampir saja tak dikenali. Seperti cerpen Empat Cerita Buat Cinta yang sudah dibahas di atas. Ada juga cerpen dengan judul Cerita yang Menetas dari Pohon Natal (hal. 82-113) terdiri dari cerpen Parousia, Mawar di Tiang Gantungan, dan Serenade Kunang-kunang.

Juga pada cerpen Kartu Pos dari Surga (hal. 35-42) yang kisahnya begitu memilukan. Kisah di mana seorang anak menunggu kartu pos dari ibunya. Padahal ibunya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat, dan pesawat tersebut tidak ditemukan karena jatuh ke laut. Cerita ini (barangkali) terispirasi dari kejadian yang nyata terjadi di negeri ini beberapa waktu yang lalu—barangkali ini kritikan terhadap pemerintah yang lalai menanggapi persoalan kelayakan terbang sebuah maskapai.
Ada juga cerpen berjudul Episode, kisah seorang anak yang menggambar sesuai dengan kejadian yang dialami keluarganya. Cerpen ini terdiri dari tiga belas fragmen (disusun seperti puzzle?) bisa diacak membacanya.

Sembilan cerpen yang tergabung dalam SBPID mempunyai keunikan masing-masing. Agus Noor dengan lihai menggarap tema-tema kecil dari persoalan (yang biasanya dianggap) kecil dalam keseharian—menghadirkan kisah-kisah yang berbeda dari kisah-kisah yang kebanyakan dieksplorasi secara sarkas di televisi, dalam sinetron, atau pemberitaan kriminal.

Seperti yang dikatakan penerbit di bagian belakang buku: Agus Noor menghadirkan cinta, sensualitas, sampai memori kekejaman politik dan religiositas, terasa subtil dalam bahasa puitis dan seringkali mengejutkan. Tapi bagi saya ini terllau berlebihan, tentunya ini bukan “puncak prosa” Agus Noor—seperti juga tertulis di bagian yang sama. Sebab di antara banyak cerpennya—seperti yang penulis sebut di atas—kepengarangan Agus Noor seperti dirasuki penuh oleh persoalan yang selama ini dihadirkan oleh Seno dalam karyanya (?).

0 komentar:

Posting Komentar


JALAN PUISI NO.25 Design by Insight © 2009