Tim Van Damme Inspired by Tim Vand Damme

About me

Foto saya
kelahiran Solok 29 April 1985. Besar di kenagarian Saniang Baka. Berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. "Pinangan Orang Ladang" kumpulan puisi pertamanya yang terbit tahun 2009 (FramePublishing, Jogja). Di blog ini akan ditayangkan puisi-puisi saya yang sudah terbit di beberapa media ataupun yang belum diterbitkan. Selamat membaca, semoga mendapatkan sesuatu di dalamnya!

Network

Blog

Sabtu, 14 Agustus 2010

DI NEGERI PARA SASTRAWAN

Oleh: Esha Tegar Putra


Ada candaan satir dari orang-orang di luar Sumatra Barat (Sumbar), bahwasanya: dari 10 orang Minangkabau (konteks budaya, lain dari administratif pemerintahan), 9 di antaranya menjadi pedagang, dan 1-nya menjadi penulis. Bisa dihitung jika candaan yang satir itu benar adanya—silahkan dihitung sendiri perbandingannya dari hasil sensus penduduk terbaru.

Candaan tersebut mengingatkan saya pada drama seri-bersambung yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, berjudul “Suami-suami Takut Istri”. Dimana ada dua orang pelakon, suami-istri, mereka barusaha berbicara dalam logat Minang. Sudah barang tentu, di drama seri-bersambung tersebut, dua orang tokohnya merupakan orang Minang. Si suami seorang penulis, si istri ibu rumah tangga yang belum mempunyai anak. Di tiap persoalan ekonomi yang melanda mereka, pastilah akan terus-terusan di bahas: “uda cuma penulis, honor murah, royalti murah, karya uda belum terbit, dst.”

Dari candaan satir dan drama seri Suami-suami Takut Istri saya ingin menguak beberapa persoalan dunia kepenulisan (kesusastraan) di Sumatra Barat yang sebenarnya penting untuk ditanggulangi, bagi pihak yang merasa peduli. Konteks ini di luar teks karya, di luar proses kreatif para penulis sastra.


Media Publikasi

Pertengahan Juli lalu seketika saya mengikuti acara “Forum Sastra Indonesia Hari Ini, Jawa Timur” di Komunitas Salihara, Jakarta. Saya bertemu dan berbincang dengan salah seorang redaktur kolom sastra koran Jakarta. Ia menyatakan ingin datang ke Sumbar, Padang khususnya, karena ia terheran-heran dengan banyaknya kiriman naskah dari para penulis Sumbar. Dan Ia juga mempertanyakan bagaimana proses kreatif kawan-kawan di Sumbar. Apakah ini suatu yang patut di banggakan, atau sebuah candaan, seperti yang saya ungkap di awal tulisan ini? Tentunya ini tak penting untuk dibicarakan.

Kenyataannya memang, karya kawan-kawan di Sumbar mempunyai hubungan yang intim dengan halaman sastra koran-koran Jakarta; dibahasakan dengan koran nasional. Beberapa tahun belakangan, seperti juga yang sering dibahas di halaman budaya Padang Ekspres, muncul nama-nama baru dengan keberagaman ciri khas karyanya masing-masing—meliputi prosa dan puisi.

Selain di koran-koran tak banyak karya penulis-penulis dari Sumbar yang terbit dalam bentuk buku. Bagaimana jika suatu saat kolom-kolom sastra di koran terpaksa ditutup karena tidak dianggap menguntungkan bagi perusahannya? Hal ini bisa saja terjadi suatu kali. Siapa yang peduli? Tentunya para penulis cuma akan mengutuk dengan gaya Jassin: koran yang tidak mempunyai halaman sastra dan budaya adalah koran tidak beradab—koran Barbar, ungkap Zelfeni Wimra.

Tak banyak karya-karya dari penulis Sumbar yang mendapat tempat dan kepercayaan penerbit, apalagi menyangkut puisi. Tak sampai barangkali segenggam jari jika dhitung. Di puisi, selain Gus Tf dengan buku berjudul “Akar Berpilin” yang diterbitkan oleh Gramedia, baru-baru ini terbit “Mangkutak di Negeri Prosaliris” papa Rusli Marzuki Saria. Dan jika boleh disebut penghargaan penerbit, melalui royalti, barangkali Gus Tf yang mendapat royalti yang layak. Papa Rusli, “untung sudah diterbitkan, dibayar dengan buku-pun tak apa royaltinya”, begitulah suatu kali belia bertutur.

Di jalur prosa—sebelum Yetti Aka dengan “Numi”-nya—baru-baru ini terbit karya Zelfeni Wimra dengan “Pengantin Subuh”, Ragdi F Daye dengan “Lelaki Kayu & Perempuan Bawang”, Elly Delfia dengan “Musim Manggaro”, Firdaus dengan “Cincin Kelopak Mawar”, dll—dan urusan royalti tak perlu dipertanyakan lagi, barangkali jika ditanyakan, alasan para penulis ini akan sama dengan pernyataan Papa Rusli.

Nah, jika benar suatu ketika halaman-halaman sastra di koran ditiadakan, mau dikemanakan karya-karya: Ilham Yusardi, Deddy Arsya, Romi Zarman, Chairan Hafzan Yurma, Pinto Anugrah, Arif Rizki, Anda S, Heru JP, Rio Fitra SY, Magriza N Syahti, dan sederetan nama-nama lain yang karya mereka menunggu publikasi halaman koran? (dalam “kasus” ini saya contohkan karya-karya Agus Hernawan. Selain di buku antologi tiga penyair yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Padang bersama Adri Sandra dan Sondri BS, karya beliau tak tersentuh penerbitan). Tentunya kita mesti punya siasat, mesti punya media alternatif lain.

Beberapa tahun belakangan ada program dari pemerintahan tingkat provinsi menyangkut persoalan penerbitan buku penulis-penulis Sumbar, termasuk bagi penulis karya sastra. Program tersebut direkomendasikan langsung oleh Gamawan fauzi, selaku gubernur waktu itu. Meski program dengan dana yang sangat minim dan urusan birokrasi yang rumit, tapi penting dipertanyakan lagi keberadaannya.

Di negeri yang kabarnya tempat lahir dan bertumbuhnya kaum intelektual. Negeri tempat buncahnya karya-karya sastra yang eksotik, ajaib, dan prikitiw. Tentunya akan sangat disayangkan jika karya-karya tersebut tidak difasilitasi dengan penerbitan-penerbitan buku berkala.

Banyak penulis sastra yang beruntung, dan lebih banyak lagi yang tidak, dalam hal penerbitan buku. Di dekade tahun 1970-2000-an barangkali bisa disimak, karya-karya AA. Navis, Wisran Hadi, Darman Moenir, Gus Tf, Yusrizal Kw, Haris Efendi Tahar (dll) mendapat tempat dan kepercayaan oleh penerbit-penerbit di luar Sumbar. Dan tentunya bukan soal kualitas karya, karya penulis-penulis mutakhir Sumbar sekarang menunjukkan gairah yang berbeda, kebaruan yang lain. Saya tidak ingin berhibuk dengan urusan rasa yang mengharu-biru, tapi bisa dibaca sendiri karya-karya para penulis mutakhir tersebut.


Ruang Regenerasi


Selain soal penerbitan yang saya sebutkan di atas, persoalan regenasi kepenulisan sastra di Sumbar tak kalah pentingnya. Barangkali hal ini sudah sering, bahkan teramat sering diperdebatkan di halaman budaya koran ini. Tapi pihak manakah yang siap dan mau untuk mengemban hal tersebut? Kontan saja: Tentunya kaki-tangan Pemerintah, dan mereka yang menganggap sastra itu penting! Pemerintah dengan jejaring di bawahnya, misal Departemen Pendidikan, Pariwisata dan Kebudayaan—atau pisahkan saja depertemen ini—Dewan-dewan Kesenian di Sumatra Barat.

Program-program semacam bengkel kepenulisan sastra yang diadakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat beberapa tahun belakangan punya peran yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya para penulis sastra. Banyak dari generasi terkini, muncul dari mereka yang pernah ikut bengkel kesusastraan bertajuk “Alek Taeh 2005” (diawali dengan lomba puisi tingkat Umum dan Remaja, menghasilkan kumpulan puisi “Dua Episode Pacar Merah”) dan “Bengkel Sastra 2006 Kayutanam”. Dan tentulah bengkel-bengkel semacam ini perlu dipertimbangkan lagi.

Tertuju juga untuk pera penyusun program-program Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) periode 2010-2014 mendatang, perlu diselipkan program ini—karna pengurus DKSB periode saat ini sudah hampir habis masa jabatannya. Selain itu pihak Balai Bahasa semestinya juga mempertimbangkan hal ini. Dimana salah seorang di antaranya pernah menyatakan di surat kabar, bahwasanya lomba cerpen tingkat remaja yang telah diadakan Balai Bahasa telah meningkatkan gairah kepenulisan di Sumbar: Bagaimana jika bengkel sastra Balai Bahasa?

Tulisan saya diatas bukanlah untuk menohok berbagai kalangan yang saya tulis secara “kontan”. Ibarat istilah para pedagang Minang, “iko alah pokok Padang bana nan baadok’an mah…”. Tulisan ini tentunya sebagai siasat, bukan cuma untuk kalangan yang bertanggung jawab mengemban misi kebudayaan (khusus sastra), tapi juga untuk kreatornya sendiri, para penulis-penulis mutakhir Sumbar.

0 komentar:

Posting Komentar


JALAN PUISI NO.25 Design by Insight © 2009