Tim Van Damme Inspired by Tim Vand Damme

About me

Foto saya
kelahiran Solok 29 April 1985. Besar di kenagarian Saniang Baka. Berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. "Pinangan Orang Ladang" kumpulan puisi pertamanya yang terbit tahun 2009 (FramePublishing, Jogja). Di blog ini akan ditayangkan puisi-puisi saya yang sudah terbit di beberapa media ataupun yang belum diterbitkan. Selamat membaca, semoga mendapatkan sesuatu di dalamnya!

Network

Blog

Minggu, 22 Agustus 2010

Menuju Kritik Ringan, Apresiatif, dan Populis

0 komentar
Oleh: Esha Tegar Putra



Anggapan mengenai kesusastraan Sumbar (baca: Sumatra Barat) yang semakin “baik” barangkali benar adanya. Secara kuantitas, terlihat dari penyebaran karya-karya sastra yang lahir dari penulis-penulis Sumbar. Tulisan ini bukan untuk mengelu-elukan penulis sastra, juga bukan menjamah wilayah kritik sebuah karya, tapi sebatas wacana memunculkan kritik sastra yang ideal. Kritik objektif di mana karya akan diterima secara layak oleh masyarakat luas.

Sebagaimana Afri Meldam mempertanyakan keberadaan kritik(us) sastra melalui tulisannya yang berjudul “Apa Kabar Kritik(us) Sastra Sumbar?” (Padek, 21 /2/ 2010) dan sisambung Joni Syahputra dalam “Minim Kritikus Sastra; Menunggu Rekasi Tertua” (Padek, 28/ 2/ 2020)—di sini agak sedikit ambigu antara judul “tertua” dengan isi tulisan tertulis “tetua”.


Krisis Kritik

Persoalan sastra dengan kurangnya (minim) kritik merupakan persoalan klasik. Keluhan tersebut tidak saja terjadi di Sumbar, bahkan Indonesia. Adakah sebabnya karena ranah kritik bukanlah akar dari kebudayaan kita, sehingga kita abai terhadap kritik? Ada baiknya kita menengok lagi ke belakang mengenai kritik dan kesejarahannya.

Konon kritik berawal dari Xenophanes dan Heraclitus (Yunani, 500 SM) yang mengecam Homerus melalui karya-karyanya yang dianggap kebohongan belaka dan tidak senonoh mengenai dewa-dewi. Sehingga Plato, seorang pemikir besar menganggap peristiwa tersebut merupakan pertentangan purba antara komedi dan filsafat.

Keterbukaan kritik berlanjut pada karya Euripides, seorang penyair tragedi. Kritik ini dilakukan oleh penyair komedi Aristophanes (405 SM), karena Euripides dianggap terlampau menjunjung tinggi nilai seni, dan luput terhadap nilai sosial yang melatari syair-syairnya. Dari sinilah berpangkal istilah krites (hakim), kata kerja krinein (menghakimi), criterion (dasar penghakiman), dan muncul kritikos (hakim karya sastra).

Jauh setelah itu, di Inggris John Dryren di tahun 1677 dalam pengantar The State of Innocene, memunculkan istilah criticism sebagai pengaminan chatarsis dalam Poeticsnya Aristoteles. Barulah Bouhours (1687) di Prancis memunculkan istilah critique dalam Manierre de bien penser—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Art of Critism.Bagaimana dengan permunculan kritik di Indonesia?

Di Indonesia istilah kritik sastra muncul di awal abad ke-20, bukanlah sejarah yang panjang dibanding Barat. Barangkali ini pangkal untuk menemukan hubungan karya sastra dengan kultur masyarakat yang melingkarinya. Di awal abad 20-an tersebut, Tirto Adhi Soerjo telah berkomentar mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Bahkan majalah Pandji Poestaka menyediakan rubrik “Memandjoekan Kesoesastraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisyahbana. Maman S Mahayana berungkap, edisi 5 Juli 1932 di majalah Pandji Poestaka muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesastraan”, bahkan di edisi November 1932—Maret 1933 berturut-turut Alisyahbana menulis artikel “Menoedjoe Kesoesastraan Baroe”. Secara jelas artikel-artikel di atas memakai istilah “kritik” pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia.

Dari awal munculnya istilah kritik sastra Indonesia sampai kritik mutakhir, pola dan sistim kerjanya terus berubah, bahkan mempunyai setiap dekade mempunyai standar tertentu. Bisa saja persoalan ini muncul karena rezim kekuasaan, kebaruan karya, atau pola pikir kritikus yang mengikuti perkembangan kritik di Barat. Sebut saja laku kritik, pada dan setelah kependudukan Jepang di Indonesia. Melalui konsep estetik, kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan, serta humanisme universal menjadi perdebatan sengit melalui karya-karya sastra Angkatan 45.

Berlanjut pula polemik terhadap karya-karya sastra yang dimunculkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang memberi ide untuk HB Jassin menulis buku kritik sastra Indonesia, juga Teew menulis buku Pokok dan Tokoh. Sampai pada rezim Orde Baru yang menentukan konsep kerja dan laku kritik dalam perdebatan dua aliran, antara aliran Rawamangun dan Ganzeit. Inilah yang membuat kritik sastra menjadi kajian penting dalam institusi yang bergerak di jalur kesusastraan.

Yang menjadi pertanyaaan saat ini, kenapa—jika pada dekade 1920-an sampai 1990-an muncul kritik sastra dari Alisyahbana, HB. Jassin sampai Pradopo, Esten, Damono, dll—pada dekade kemunculan karya sastra mutahkir ini terjadi krisis kritik? Barangkali berawal dari ini Afri Meldam dan Joni Syahputra mempertanyakan tentang keberadaan kritikus di Sumbar.


Siasat Krisis Kritik

Pada diskusi refleksi setahun sastra Sumbar di markas Magistra pada malam pergantian tahun (30/12/2009) telah dibahas juga persoalan ini. Tiga uraian pemakalah, yakni Romi Zarman, Deddy Arsya, dan Papa Rusli Marzuki Saria memunculkan silang pendapat. Deddy Arsya menganggap bahwasanya tidak adanya penulis sastra dari Sumbar yang intens mengangkat kesejarahan. Sedangkan Romi Zarman memaparkan sistematis kerja kesusastraan (karya, kritikus, media, pembaca), dan Papa Rusli lebih fokus pada muatan karya melalui studi yang akan membuat karya lebih menggema.

Tetap saja persoalan berhulu dari karya dan bermuara pada pengharapan adanya toekang kritik yang mahir dan bijak-bestari. Apakah kita akan terus berharap pada kritikus di luar daerah sana? Anggapan saya, tentulah ada yang berharap. Ada juga yang membiarkan begitu saja karyanya beredar di halaman-halaman sastra, semisal koran. Dibaca orang, lalu terserah pembaca apakah mereka mengganggap karya sebagai narasi “pencerahan” atau tidak. Syukur-syukur ada penikmat sastra yang mengkliping halaman koran tersebut sebegai referensi. Jika tidak, tentulah halaman koran tersebut jadi alas duduk di kereta api, terbuang, dipungut pemulung untuk dijual kiloan. Jadilah karya pembungkus nasi ramas, gorengan, ikan teri dan terasi. Hal yang jauh dari jangkauan kritikus tentunya.

Apakah sebaiknya kita berharap laku kritik muncul dari institusi formal atau informal yang bergerak di bidang sastra; semisal fakultas sastra, dewan kesenian, komunitas-komunitas sastra—seperti anggapan Joni Syahputra tentang adanya proses yang salah? Memang benar adanya, fakultas sastra dengan beragam jurusan termasuk Sastra Indonesia, dipersiapkan untuk melahirkan akademisi (kritikus) sastra dengan ketajaman pisau analisis dan ragam teori anyar-nya, dari strukturalis beku sampai lesatan postmodern. Akan tetapi laku kritik formal berbeda dengan laku kritik informal.

Pada tataran ini saya setuju dengan Mahayana dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia (hal 248-249) yang menyatakan penulis kritik sastra relatif sedikit karena menyangkut minat dan juga dosen atau mahasiswa sastra sangat sedikit yang rajin mengkritik sastra dalam bentuk artikel di media massa. Menulis artikel ibarat salah satu sekrup dari mesin raksasasa yang bernama kewajiba rutin. Juga penghadiran kritik sastra dengan teori canggih dan metodologi akurat di wilayah akademik (formal) berbeda dengan penghadiran pada masyarakat yang sifatnya lebih populer (informal).

Dibutuhkan kepiawaian bagi akademisi sastra untuk merubah kertas kerja semacam artikel dan skripsi untuk menjadi artikel lepas yang mudah dipahami oleh masyarakat umum—hal ini yang sebenarnya harus dibawahi.

Bagaimana dengan institusi non-formal? Jika para penulis sastra berharap penuh pada institusi non-formal seperti dewan kesenian dan komunitas-komunitas sastra untuk meningkatkan laku kritik terhadap karya, tentu juga tak bisa. Barangkali baru Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang berani dan intens mengadakan sayembara penulisan kritik. Atau barangkali Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) sanggup menghadirkan sayembara kritik di ruang lingkup daerah dengan mengapresiasi karya anak daerah? Juga Balai Bahasa, Putaka Daerah, dengan menambahkan list sayembara kritik sastra?

Jadi di mana letak benang merah yang akan mendekatkan karya dengan pembaca jika karya tidak digawangi oleh kritik? Bagaimana pula pengharapan Joni Syahputra terhadap tetua (tanpa tanda kutip) untuk mengetahui letak salah dan kekurangan (tanpa tanda kutip)—dan jika ada kata tua, pastinya ada kata muda, sebentuk menara gading yang harus dihancurkan dalam dunia proses kreatif. Dan salah-kurang berupa nilai berlawanan karya sastra merupa proses kerja estetik yang harus direka diberi makna.

Kiranya untuk ukuran kesusastraan kita di Sumbar ruang untuk kritik terbuka lebar di halaman budaya koran-koran lokal, tak mungkin berharap pada redaktur sastra yang sudah repot menyeleksi dan memberi ruang, atau berharap tetua menulis kritik karya secara berkala.

Siapapun berhak dan bisa menulis kritik apresiatif. Bahkan seorang pencipta karya pun berpantang membahas karya penulis lain. Inilah istilah “kiper maju” untuk pencipta yang juga pengkritik, barangkali solutif bagi pertanyaan-pertanyaan tentang krisis kritikus. Untuk itu, anggapan tentang kritik sastra itu “berat” harus ditepis dengan sosialisasi penulisan kritik (telaah) “ringan”, apresiatif dan populis, agar ruang kritik merupa pintu bagi siapa saja. Juga penerimaan masyarakat terhadap karya sastra, melalui pembacaan telaah ringan lebih mudah termaknai.

Sungguh persoalan krisis kritik bukan hanya dikarenakan kurang atau tidak adanya kritikus. Tapi disebabkan juga karena adanya kaum anti-kritik yang menganggap laku kritik sastra akan “membunuh” karya dan karakter. Laku kritik juga tidak cukup dengan “rasa” saja, tapi “logika”, jika benar ingin kritik bersih dari beragam gangguan di luar karya.

Laku kritik juga bukan sebuah laku untuk mempertanyakan siapa yang berhak jadi sastrawan (seperti essai JE. Tetangkeng tahunan silam), atau sikap pesimistis yang menganggap sirkum kepenulisan Sumbar bak terseret ke dalam lingkaran setan. Laku kritik harus berlandaskan teks karya, tidak sebagai pengmatan dari cara berjalan, cara berdialektika-berwacana. Sebab laku kritik bukan corong infotaimen, bukan laku “pembunuhan” tapi pemaknaan terhadap teks karya baik yang tersirat (implicit) atau yang tersurat (explicit).

Jikapun boleh dipakai istilah “membunuh” di titik kulminasi kritik, tentulah kritik yang cermat akan “membunuh” berlandaskan filosofi silat Minang: mahampang-malapehan, mambunuh-maiduik’an… dengan begitu kritik benar-benar telah menjadi pijakan untuk mengukuhkan nilai-nilai manusiawi dalam karya (teks), telah menempatkan karya pada arti dan nilai yang sepantasnya. Bagaimana, adakah setelah ini yang berminat menulis kritik (telaah) ringan, apresiatif dan populis?
Read more

Dari Tema Cinta Sampai Variasi Kematian (Kumpulan Cerpen Agus Noor "Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia")

0 komentar
Oleh Esha Tegar Putra*


Maneka, kamu tidak akan pernah mengira.
Aku berada di sebuah negara, yang tidak ada di Dunia....


Kutipan di atas adalah isi kartu pos yang pernah dikirimkan Sukab kepada Maneka, tokoh dalam cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (selanjutnya ditulis SBPID) karangan Agus Noor, sekaligus menjadi judul buku kumpulan cerpen terbarunya. Tokoh Maneka adalah perempuan beruntung, juga Alina, perempuan yang dicemburui Maneka karena pernah beberapa kali juga dikirimi kartu pos oleh Sukab.

Bukan sekedar cinta biasa, begitulah saya menelisik cerpen SBPIBN (hal. 55-69), sekaligus memberi tanda tanya, sebelum melanjutkan membaca cerpen-cerpen lainnya. Narasi literer yang diciptakan Agus Noor dalam cerpen SBPID adalah sesuatu yang entah, yang membawa imajinasi saya ke dunia lain, di luar dunia yang saya fahami.
Bayangkan saja tukang pos yang mengantar surat dengan kuda sembrani terbang, negeri senja, di mana potongan dari senja tersebut dijadikan lembaran kartu pos. Kiriman potongan telinga, kiriman potongan bibir yang bisa menghibur; dan jangan-jangan potongan bibir tersebut kepunyaan tukang kibul, atau potongan bibir calon presiden? Sungguh fantasi tersebut hanya saya temui dari film-film kartun yang diangkat dari folklor dunia barat. Juga pada cerpen berjudul Permen (hal. 43-54), di sini hadir penceritaan tentang peri-peri mungil seukuran capung dengan bantal yang terbuat dari buah-buahan. Hadir juga penyihir yang menyihir dan menjadikan bantal peri sebagai permen.

Di sinilah letak keunikan karya sastra, terkhusus cerpen. Ada sesuatu yang lain di luar cerita itu sendiri, rangkaian cerita yang bisa ditarik kemana saja, ke masa lalu, sekarang, atau masa depan. Karya sastra juga tak tertutup kemungkinan dimaknai dalam berbagai hal, ditelisik dengan beragam rupa.

Terkadang saya teringat potongan-potongan visual sinetron atau berita kriminal. Karya sastra-kah siasat untuk mengimbangi “candu sinetron” atau “belitan berita kriminal” yang telah dipasakkan ke pikiran masyarakat? Pertanyaan tersebut akhirnya dikembalikan lagi pada pembaca.

Cerpen SBPIBN juga mengingatkan saya pada cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan judul Sepotong Senja untuk Pacarku. Sebagaimana juga di bagian akhir cerpen tersebut Agus Noor mendedikasikannya untuk Seno. Di bagian inilah saya melihat hubungan antar teks dalam cerpen Agus Noor dan Seno, dalam ide penceritaan. Sebagaimana halnya karya sastra yang musykil hadir tanpa adanya pengaruh dari karya sastra yang terdahulu. Seperti obat peransang, hadirnya karya sastra mesti digenapkan dengan membaca karya sastra lainnya.

Perhatian saya tentang intertekstual karya Agus Noor dan Seno juga terpaut pada cerpen Empat Cerita Buat Cinta di variasi yang pertama, Pemetik Air Mata (hal 1-11). Cerpen Empat Cerita Buat Cinta merupakan empat cerita yang (pernah dimuat di beberapa surat kabar) digabungkan menjadi satu cerpen, barangkali karena tema yang sama, yakni “universalitas cinta”, bagiannya terdiri dari: Pemetik Air Mata, Penyemai Sunyi, Penjahit Kesedihan, Pelancong Kepedihan.

Bagian Pemetik Air mata ini bisa dipastikan intertekstualitas dari cerpen Pelajaran Mengarang, karya Seno. Bagaimana tidak, di cerpen ini tokoh yang dihadirkan Agus Noor, hadir sebagi tokoh yang juga pernah dimunculkan Seno. Sebut saja Sandra, tokoh utama dalam cerpen Seno yang disuruh guru pelajaran Bahasa Indonesianya untuk mengarang tentang keluarga. Sandra tak tahu harus menulis apa, sampai-sampai ia hanya menulis “ibuku seorang pelacur....”

Sandra (Seno) dalam Pelajaran Mengarang dihadirkan lagi sebagai Sandra (Agus Noor) dalam Pemetik Air Mata. Tapi bukan Sandra kecil lagi, Sandra sudah dewasa, dan posisinya dalam cerpen Agus Noor hampir menyamai tokoh ibunya dalam cerpen Seno. Jika ibu Sandra oleh Seno dihadirkan sebagai sosok seorang pelacur, kini Sandra oleh Agus Noor adalah seorang istri simpanan. Dan apa yang dirasakan sandra sepuluh tahun lalu barangkali dirasakan anaknya sekarang.

Cerpen Pelajaran Mengarang Seno menjadi menjadi prior texs (teks terdahulu), cikal-bakal cerpen Pemetik Air Mata Agus Noor. Hal ini bukan sekedar presuppotionsition atau perkiraan adanya teks baru seperti yang sering diistilahkan dalam kajian intertekstual. Tapi sesuatu yang mutlak, interteks yang dijustifikasi langsung oleh pengarangnya.

Sebagaimana Roland Bartes pernah berungkap, bahwasanya di dalam diri pengarang penuh lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dari karyanya (Endraswara, 2008). Atau barangkali proses lahirnya Pemetik Air Mata dari Pelajaran Mengarang merupakan resepsi yang diucap oleh Julia Kristeva (Junus, 1986:87). Sebab interteks di sini, bukan lagi dalam tataran teks yang sedikit, tapi banyak unsur, meliputi ide cerita. Ini barangkali yang unik dari cerpen Empat Cerita Buat Cinta. Agus Noor mampu melanjutkan cerita dari teks terdahulunya hingga menjadi cerita utuh dengan kekuatan tersendiri.

Yang juga menjadi perhatian saya adalah cerpen berjudul 20 Keping Puzzle Cerita—jika ini masih bisa disebut cerpen. Akhir-akhir ini di beberapa surat kabar dan di beberapa situs jaringan sosial para penyuka sastra gemar membuat cerita-cerita (teramat) singkat seperti ini. Lazimya disebut dengan fiksi mini, dan Agus Noor salah seorang yang gemar membuatnya. Pada 20 Keping Puzzle Cerita, ada dua puluh bagian cerita, di antaranya: Ambulan yang Lewat Tengah Malam, Sirene, Kucing Hitam, Kasus Salah Tangkap, Misteri Mutilasi, dll.

Keping-keping ini berisikan satu hingga dua paragraf, dimana paragraf tersebut terdiri atas tiga sampai lima kalimat. Masing-masing keping bisa saja dihubungkan, bisa berdiri sendiri, bahkan keping ke dua (contohya) bisa dihubungakan dengan keping ke lima belas. Layaknya cerpen dalam pemahaman yang universal, cerita yang habis dibaca sekali duduk, sambil menyeruput segelas kopi dan sebatang rokok kretek, ini bisa dibilang tidak lazim. Hanya saja beberapa ide di dalamnya bisa disingkap, semisal prosa pendek.

Di sini saya contohkan satu keping yang berjudul Kapak: Aku mengingat malam itu sebagai malam mengerikan dalam hidupku. Kau muncul dan berkata, “Kau punya kapak?” // Aapakah kau akan membelah kayu malam-malam begini? // lalu, kau bercerita. “Ada ular dalam kepala istriku. Ular itu datang setiap kali aku tak ada, menyelusup lewat telinga, dan kini mendekam dalam kepalanya. Mungkin kapak ini ada gunanya....”
Bisa saja ini pembacaan Agus Noor atas kejadian-kejadian yang lazim terjadi kini; suami membunuh istri; istri membunuh suami; kasus bunuh diri; mutilasi; cerita hantu yang berdar di masyarakat; dan kasus-kasus kriminal lain yang terjadi atas tekanan hidup yang dialami masyarakat kelas bawah.

20 Keping Puzzle Cerita juga berhubungan, atau bisa dijawab dengan cerpen yang berjudul Perihal Orang Miskin yang Berbahagia (hal. 153-166). Konsep dan gaya penulisan dua cerpen ini hampir sama, di mana terdiri dari dua puluh enam keping cerita yang bisa dipisah atau dihubungkan. Secara keseluruhan keping-keping di dalamnya mengeksplorasi kehidupan orang-orang miskin.

Semisal orang miskin yang mendapat kartu tanda miskin dan ia bahagia telah diakui sebagai orang miskin—lucunya, orang miskin tersebut akan menjadikan kartu tanda miskinnya untuk menggesek (layaknya kartu ATM) seketika ia berbelanja. Atau orang miskin yang bersyukur dari dulu keturunannya miskin. Orang miskin yang hidup lagi gara-gara keluarganya tidak mampu membeli kain kafan. Orang miskin yang punya ponsel, dll.

Anggapan saya tentang cerpen Perihal Orang Miskin yang Berbahagia merupakan jawaban dari 20 Keping Puzzle Cerita, dikarenakan kritik sosialnya saling mendekati. Bayangkan saja jika semua orang miskin berbahagia meski hidup tertekan, seperti dalam cerita. Tentu tak akan terjadi kasus-kasus—semisal pembunuhan—seperti yang terjadi dalam 20 Keping Puzzle Cerita.

Beberapa cerpen di atas tak menutup kemungkinan untuk menikmati cerpen-cerpen Agus Noor yang lain. Kebanyakan dari cerpen tersebut sudah dimuat di beberapa media. Hanya saja beberapa cerpen tersebut digabungkan dalam satu keutuhan lain, hampir saja tak dikenali. Seperti cerpen Empat Cerita Buat Cinta yang sudah dibahas di atas. Ada juga cerpen dengan judul Cerita yang Menetas dari Pohon Natal (hal. 82-113) terdiri dari cerpen Parousia, Mawar di Tiang Gantungan, dan Serenade Kunang-kunang.

Juga pada cerpen Kartu Pos dari Surga (hal. 35-42) yang kisahnya begitu memilukan. Kisah di mana seorang anak menunggu kartu pos dari ibunya. Padahal ibunya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat, dan pesawat tersebut tidak ditemukan karena jatuh ke laut. Cerita ini (barangkali) terispirasi dari kejadian yang nyata terjadi di negeri ini beberapa waktu yang lalu—barangkali ini kritikan terhadap pemerintah yang lalai menanggapi persoalan kelayakan terbang sebuah maskapai.
Ada juga cerpen berjudul Episode, kisah seorang anak yang menggambar sesuai dengan kejadian yang dialami keluarganya. Cerpen ini terdiri dari tiga belas fragmen (disusun seperti puzzle?) bisa diacak membacanya.

Sembilan cerpen yang tergabung dalam SBPID mempunyai keunikan masing-masing. Agus Noor dengan lihai menggarap tema-tema kecil dari persoalan (yang biasanya dianggap) kecil dalam keseharian—menghadirkan kisah-kisah yang berbeda dari kisah-kisah yang kebanyakan dieksplorasi secara sarkas di televisi, dalam sinetron, atau pemberitaan kriminal.

Seperti yang dikatakan penerbit di bagian belakang buku: Agus Noor menghadirkan cinta, sensualitas, sampai memori kekejaman politik dan religiositas, terasa subtil dalam bahasa puitis dan seringkali mengejutkan. Tapi bagi saya ini terllau berlebihan, tentunya ini bukan “puncak prosa” Agus Noor—seperti juga tertulis di bagian yang sama. Sebab di antara banyak cerpennya—seperti yang penulis sebut di atas—kepengarangan Agus Noor seperti dirasuki penuh oleh persoalan yang selama ini dihadirkan oleh Seno dalam karyanya (?).
Read more

Sabtu, 14 Agustus 2010

DI NEGERI PARA SASTRAWAN

0 komentar
Oleh: Esha Tegar Putra


Ada candaan satir dari orang-orang di luar Sumatra Barat (Sumbar), bahwasanya: dari 10 orang Minangkabau (konteks budaya, lain dari administratif pemerintahan), 9 di antaranya menjadi pedagang, dan 1-nya menjadi penulis. Bisa dihitung jika candaan yang satir itu benar adanya—silahkan dihitung sendiri perbandingannya dari hasil sensus penduduk terbaru.

Candaan tersebut mengingatkan saya pada drama seri-bersambung yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, berjudul “Suami-suami Takut Istri”. Dimana ada dua orang pelakon, suami-istri, mereka barusaha berbicara dalam logat Minang. Sudah barang tentu, di drama seri-bersambung tersebut, dua orang tokohnya merupakan orang Minang. Si suami seorang penulis, si istri ibu rumah tangga yang belum mempunyai anak. Di tiap persoalan ekonomi yang melanda mereka, pastilah akan terus-terusan di bahas: “uda cuma penulis, honor murah, royalti murah, karya uda belum terbit, dst.”

Dari candaan satir dan drama seri Suami-suami Takut Istri saya ingin menguak beberapa persoalan dunia kepenulisan (kesusastraan) di Sumatra Barat yang sebenarnya penting untuk ditanggulangi, bagi pihak yang merasa peduli. Konteks ini di luar teks karya, di luar proses kreatif para penulis sastra.


Media Publikasi

Pertengahan Juli lalu seketika saya mengikuti acara “Forum Sastra Indonesia Hari Ini, Jawa Timur” di Komunitas Salihara, Jakarta. Saya bertemu dan berbincang dengan salah seorang redaktur kolom sastra koran Jakarta. Ia menyatakan ingin datang ke Sumbar, Padang khususnya, karena ia terheran-heran dengan banyaknya kiriman naskah dari para penulis Sumbar. Dan Ia juga mempertanyakan bagaimana proses kreatif kawan-kawan di Sumbar. Apakah ini suatu yang patut di banggakan, atau sebuah candaan, seperti yang saya ungkap di awal tulisan ini? Tentunya ini tak penting untuk dibicarakan.

Kenyataannya memang, karya kawan-kawan di Sumbar mempunyai hubungan yang intim dengan halaman sastra koran-koran Jakarta; dibahasakan dengan koran nasional. Beberapa tahun belakangan, seperti juga yang sering dibahas di halaman budaya Padang Ekspres, muncul nama-nama baru dengan keberagaman ciri khas karyanya masing-masing—meliputi prosa dan puisi.

Selain di koran-koran tak banyak karya penulis-penulis dari Sumbar yang terbit dalam bentuk buku. Bagaimana jika suatu saat kolom-kolom sastra di koran terpaksa ditutup karena tidak dianggap menguntungkan bagi perusahannya? Hal ini bisa saja terjadi suatu kali. Siapa yang peduli? Tentunya para penulis cuma akan mengutuk dengan gaya Jassin: koran yang tidak mempunyai halaman sastra dan budaya adalah koran tidak beradab—koran Barbar, ungkap Zelfeni Wimra.

Tak banyak karya-karya dari penulis Sumbar yang mendapat tempat dan kepercayaan penerbit, apalagi menyangkut puisi. Tak sampai barangkali segenggam jari jika dhitung. Di puisi, selain Gus Tf dengan buku berjudul “Akar Berpilin” yang diterbitkan oleh Gramedia, baru-baru ini terbit “Mangkutak di Negeri Prosaliris” papa Rusli Marzuki Saria. Dan jika boleh disebut penghargaan penerbit, melalui royalti, barangkali Gus Tf yang mendapat royalti yang layak. Papa Rusli, “untung sudah diterbitkan, dibayar dengan buku-pun tak apa royaltinya”, begitulah suatu kali belia bertutur.

Di jalur prosa—sebelum Yetti Aka dengan “Numi”-nya—baru-baru ini terbit karya Zelfeni Wimra dengan “Pengantin Subuh”, Ragdi F Daye dengan “Lelaki Kayu & Perempuan Bawang”, Elly Delfia dengan “Musim Manggaro”, Firdaus dengan “Cincin Kelopak Mawar”, dll—dan urusan royalti tak perlu dipertanyakan lagi, barangkali jika ditanyakan, alasan para penulis ini akan sama dengan pernyataan Papa Rusli.

Nah, jika benar suatu ketika halaman-halaman sastra di koran ditiadakan, mau dikemanakan karya-karya: Ilham Yusardi, Deddy Arsya, Romi Zarman, Chairan Hafzan Yurma, Pinto Anugrah, Arif Rizki, Anda S, Heru JP, Rio Fitra SY, Magriza N Syahti, dan sederetan nama-nama lain yang karya mereka menunggu publikasi halaman koran? (dalam “kasus” ini saya contohkan karya-karya Agus Hernawan. Selain di buku antologi tiga penyair yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Padang bersama Adri Sandra dan Sondri BS, karya beliau tak tersentuh penerbitan). Tentunya kita mesti punya siasat, mesti punya media alternatif lain.

Beberapa tahun belakangan ada program dari pemerintahan tingkat provinsi menyangkut persoalan penerbitan buku penulis-penulis Sumbar, termasuk bagi penulis karya sastra. Program tersebut direkomendasikan langsung oleh Gamawan fauzi, selaku gubernur waktu itu. Meski program dengan dana yang sangat minim dan urusan birokrasi yang rumit, tapi penting dipertanyakan lagi keberadaannya.

Di negeri yang kabarnya tempat lahir dan bertumbuhnya kaum intelektual. Negeri tempat buncahnya karya-karya sastra yang eksotik, ajaib, dan prikitiw. Tentunya akan sangat disayangkan jika karya-karya tersebut tidak difasilitasi dengan penerbitan-penerbitan buku berkala.

Banyak penulis sastra yang beruntung, dan lebih banyak lagi yang tidak, dalam hal penerbitan buku. Di dekade tahun 1970-2000-an barangkali bisa disimak, karya-karya AA. Navis, Wisran Hadi, Darman Moenir, Gus Tf, Yusrizal Kw, Haris Efendi Tahar (dll) mendapat tempat dan kepercayaan oleh penerbit-penerbit di luar Sumbar. Dan tentunya bukan soal kualitas karya, karya penulis-penulis mutakhir Sumbar sekarang menunjukkan gairah yang berbeda, kebaruan yang lain. Saya tidak ingin berhibuk dengan urusan rasa yang mengharu-biru, tapi bisa dibaca sendiri karya-karya para penulis mutakhir tersebut.


Ruang Regenerasi


Selain soal penerbitan yang saya sebutkan di atas, persoalan regenasi kepenulisan sastra di Sumbar tak kalah pentingnya. Barangkali hal ini sudah sering, bahkan teramat sering diperdebatkan di halaman budaya koran ini. Tapi pihak manakah yang siap dan mau untuk mengemban hal tersebut? Kontan saja: Tentunya kaki-tangan Pemerintah, dan mereka yang menganggap sastra itu penting! Pemerintah dengan jejaring di bawahnya, misal Departemen Pendidikan, Pariwisata dan Kebudayaan—atau pisahkan saja depertemen ini—Dewan-dewan Kesenian di Sumatra Barat.

Program-program semacam bengkel kepenulisan sastra yang diadakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat beberapa tahun belakangan punya peran yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya para penulis sastra. Banyak dari generasi terkini, muncul dari mereka yang pernah ikut bengkel kesusastraan bertajuk “Alek Taeh 2005” (diawali dengan lomba puisi tingkat Umum dan Remaja, menghasilkan kumpulan puisi “Dua Episode Pacar Merah”) dan “Bengkel Sastra 2006 Kayutanam”. Dan tentulah bengkel-bengkel semacam ini perlu dipertimbangkan lagi.

Tertuju juga untuk pera penyusun program-program Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) periode 2010-2014 mendatang, perlu diselipkan program ini—karna pengurus DKSB periode saat ini sudah hampir habis masa jabatannya. Selain itu pihak Balai Bahasa semestinya juga mempertimbangkan hal ini. Dimana salah seorang di antaranya pernah menyatakan di surat kabar, bahwasanya lomba cerpen tingkat remaja yang telah diadakan Balai Bahasa telah meningkatkan gairah kepenulisan di Sumbar: Bagaimana jika bengkel sastra Balai Bahasa?

Tulisan saya diatas bukanlah untuk menohok berbagai kalangan yang saya tulis secara “kontan”. Ibarat istilah para pedagang Minang, “iko alah pokok Padang bana nan baadok’an mah…”. Tulisan ini tentunya sebagai siasat, bukan cuma untuk kalangan yang bertanggung jawab mengemban misi kebudayaan (khusus sastra), tapi juga untuk kreatornya sendiri, para penulis-penulis mutakhir Sumbar.
Read more

Sabtu, 07 Agustus 2010

Puisi Saya di Koran Tempo 22 April 2007

0 komentar
Jalan Puisi
fragmen 2

danau pasang. kutulis sebuah pesan singkat di pondok apung
agar kau nikmat

selain dengung takbir yang menelanjangi kekanakanku
ngilu atas rindu makin menggila
terus mencabik-cabik setiap menungku
berkasihlah kekasih, untuk dengung yang datang

kutatap kedalaman, danau yang sedang bercakap dengan hujan
kupesankan lagi padamu:

ini, segaris tanah usai kujengkal
ujung pentasbihan bait-bait hujan
desember menyadap getah waktu
lalu mengaretkannya di kering musim
tapi mengapa kali ini danau pasang? (serupa laut saja)
sedari tadi riak kutunggu, tak jua tiba-tiba



Jalan Puisi
fragmen 4

liukan terus memebentuk temali hujan.
menyamarkan petuah ke lelembah sepi

diammu berucap
”aku akan jadi kupu-kupu. menciumi setiap warna yang kujumpai”

kepakanmu pada daun menjelmakan ketukan panjang
senada dengan hentakan yang kau tarikan
tiba-tiba kita menjadi sepasang waktu, berlarian menuju selatan

kau tarikan daun dengan kepak kupumu
kau berlarian, sebagai sayap menerbangkan setiap kerinduanku



Jalan Puisi
fragmen 6

—daun
jemariku angin, tak kuusap pipimu yang daun
kumasuki pokok tanpa mengetuk helaimu
ah, kularikan sajalah hijaumu.

—pantai

tepianmu yang pantai kujejaki
seiring laut menipu dengan pasangnya
adakah gelombang memberi tanda?

—jalan puisi

jalan puisi. yang menyebut kedalaman
kekasih yang menjemput puisi. bak urat bakau melembab
dan getah pekat yang menyekat hari



Jalan Puisi

fragmen 12

jika kita tak bercakap sebagai angin
bagaimana daun bisa mengatup-ngatupkan helainya
bagaimana sampai hijau atau biru menelusup ke pori
di tepian aku seumpama hanyut ranting
di kedalaman tergulung-gulung
aku melapuk bersama geletang ikan yang tak tampak
rindu aku bersua tampuk, tempat menukik
menceritakan seberapa banyak helai yang jatuh hari ini.

pemahat pernah menyinggahkan rindunya pada kulit
sekarang lapuk aku dengan air
bersama batu atau pasir yang terus mengesekkan pedihnya
hingga sampai ujung arus
tapi belum tampak tanda menuju hulu
terus basah, lapuk digilir menuju entah

siang atau malam tak kenal aku
kurindui pemahat, kurindui daun atau bakal bunga
yang menjuntai di sepanjang tahun kayu
“oh, pernah suatu senja aku berkasih bersama kupu-kupu,
bertukar cerita, menaut pandang, dan berukar resah hari yang pasi”

2006-2007
Read more

Puisi-puisi saya di Koran Jurnal Nasional 8 Agustus 2010

0 komentar
Lengkisau Malam

lengkisau malam, lengkisau menghimbau sayup-sayup sampai
dan bayangmu mengabur di sepanjang jalan, seumpama terkubur

lengkisau malam, lengkisau begitu hebat menjemput sisa risau
aku jadi ingat kamu, pada bau rambut di subuh yang kalut

lengkisau malam, lengkisau menjadi bahasa parau si tukang kayu
ada juga terus dirimu, di jeda sebelum kulit kayu menggelupas baru

lengkisau malam, lengkisau adalah cinta yang tanggung dikebat erat
kita memaknai pangkal dan ujung temali, tak juga dapat disimpul

lengkisau malam, duh, lengkisau menarik aku lagi ke jalanan lama
aku tentu ingat kamu, dengan mata yang kian asing bila dipandang

Padang, 2010





Gerimis di Pagu

ada juga gerimis menyusup ke balik pagu, gerimis ragu, gerimis gugu
dan selepasnya, aku jadi ingat matamu yang mengandung hujan lebat

dan kudengar bunyi segerombolan unggas dengan sayap basah
antara pokok-pokok kayu yang pelan disupi kulit lumut, aku jadi kalut

mengingat musim yang telah merubah mata jadi punggung parang, dan
aku tak lagi berharap menguliti kayu manis, merambah gardamunggu

atau menebang semak agung yang sedaun demi sedaun merubah tubuhmu
jadi teramat gelap. begitulah, gerimis adalah ragu yang teramat nyansam

gerimis serupa gaib lain dari lakumu, dari laku waktu yang tak sepenuhnya
bisa dimengerti. serupa matamu yang genit, serupa jantungmu yang rumit

Gunuangpangilun, 2010



Bahasa Gulai


di kuali aku bisa menyimak bagaimana cara kau meracik bumbu
memainkan sendok, mencium wangi gulai pucuk ubi, memaknai
matangnya daging dengan hanya menyimak gelegak santan

barangkali menggulai seperti memaknai kangen yang terbengkalai
sebagaimana antara mata, hidung, dan lidahmu berusaha untuk saling
mengerti dengan caranya masing masing, duh, kengen yang teramat

aku menyimakmu lagi, tapi kini ada jarak yang begitu ampuh untuk
memutus temali antara sajak, kangen, dan gulai. kau akan mengerti
nanti seketika sajak ini pelan menghelamu dengan gaibnya yang lain

Gunuangpangilun, 2010




Tempat Bergantung

kau pilihlah dahan tempat bergantung, ada bagian kayu
basah dan kayu lapuk. sebab di antaranya ada sarang-sarang
semut, sela-sela bekas kencing musang, pembuangan
kotoran burung balam, dan tempat kumbang bermain jemari

kita tak pernah berbagi perihal tempat bengantung, sebab bergantung
adalah pelajaran dalam memilih, antara bertahan atau jatuh

Padang, 2010







Isi Dada Tiga Seribu


mengingatmu mengharuskanku menulis sajak dengan
isi dada yang tergadai tiga seribu

sebab bagimu, perjumpaan kita hanya sebatas dahaga
yang lepas dari segelas air tebu dan sepotong kerupuk angin

dada yang tergadai tiga seribu berisi sebuah jantung dan hati
yang akan digantung di lapak-lapak sepanjang jalan pasar
dan dijajakan dengan teriakan keras dan beringas

barangkali kau bisa membelinya lagi, seperti membeli kaus kaki
tempat sabun, atau karet rambut yang hanya digunakan sekali pakai
dan akan sehabisnya akan ditumpuk di kantong sampah kamar mandi

mengingatmu mengharuskanku menulis sajak dengan
isi dada yang tergadai tiga seribu

sebab bagimu, kangen telah merupa ratap si pedagang cendol
yang terlanjur mengaduk bumbu tapi hujan terburu-buru turun

Padang, 2010





Ukuran

seperti mengukur tali pegangan tukang beruk, genggaman yang
tak pernah sampai memberi isyarat buah mana yang mesti
dipelintir dan dijatuhkan. seperti itu juga menakar usia batang kelapa
dari jalinan serabut kulitnya yang dipulun si pembuat sapu
usia yang nantinya kandas jadi asap dan abu di tungku dapur

kita tak pernah benar-benar sampai memaknai ukuran, takaran
jalinan, dan pulunan ke dalam percakapan yang dibahasakan sajak
dan kita tak akan pernah jadi-jadi memaknai tali hari yang mulanya
telah mengebat jantung adam dan jantung hawa pada sepokok pohon

mestinya kalimat ini sampai padamu sebelum malam menimbulkan
gelombang pasang, dan laut akan menenggelamkan bagan-bagan yang
di lambungnya cuma ada sisa sisik dan lendir ikan. kalimat ini mestilah
kau baca, sebelum siang datang dan laut terlanjur digaramkan

akhirnya aku jadi juga menulis sajak tentang ukuran, tali, laut dan
garam di kamar seorang penyair yang di kepalanya hanya tersisa
letusan perang di bukit-bukit. dan tubuhnya telah diberatkan oleh
onggokan segala jenis ikan laut di timbangan sebuah pasar raya

kau tak mesti membaca sajak ini dengan menutup hidung, seolah
mencium bangkai ikan di muara pemberhentian bagan. kau juga tak
perlu mengukur dan menimbang, seberapa panjang dan berat sajak ini
telah menggaduh malam-malammu. sajak yang mengebatmu dengan
seutas tali, yang ujung dan pangkalnya semakin hilang jika ditarik

Padang, 2010



Roti Gandum dan Coklat Panas

kau pastinya akan terbangun dini hari, atau tidak
tidur sama sekali menunggu kiriman dariku. di kotaku
subuh belum selesai benar merapikan wajahnya
dan kali ini aku mendengar ponselku berdering kencang
dengan nada tak biasa. sementara di telingaku masih
terngiang pernyataanmu semalam: “besok aku akan
menghubungimu lagi, mengingatkan kau mesti mengirim
roti gandum dan segelas coklat panas, dua buku yang
kau pinjamkan telah selesai kubaca tak lebih dari
seminggu. satu buku benar-benar sunyi bahasanya
satunya lagi tidak ingin aku pahami, sebab aku tidak
akan berusaha mengingat apa yang telah aku lupakan
jika kau tidak datang esok pagi maka sunyi akan
lengkap benar adanya”

kau pastinya akan terbangun dini hari, atau tidak
tidur sama sekali menunggu kiriman dariku. di kotaku
subuh belum selesai benar merapikan wajahnya
dan kali ini aku mendengar ponselku berdering kencang
tapi bukan nada khusus yang aku pesankan buatmu

Padang, 2010



Belajar Pulang

kelak kau mesti pandai memetik buah kopi, menguliti
kayu manis, menggalah buah jambu dan membendung
tumburan air sawah. sekali sepekan kau mesti ke balai
buat membeli perlengkapan memasak yang hany akan
cukup untuk tiga hari makan saja. sebab esok kita tak
bisa membayangkan bahwasanya di kota yang
penuh dengan asap knalpot dan musik berjalan ini akan
turun hujan terus-menerus atau akan panas berpanjangan
dan mengharuskan kita untuk pulang, menyiasati musim
yang akan merubah bagian tubuhmu. mulai dari bentuk
mata, warna kulit, sampai caramu berdandan dan berjalan

aku menganggap hari ini seperti menanam biji buah di
sepetak tanah. barangkali kita akan menyaksikan ia tumbuh
besar, berputik dan menikmati sampai batangnya tumbang

sesekali kau mesti melupakan kalimat yang tumbuh dari
pohon oak, guguran daun arbei, alunan musik blues, dan
dekapan di pinggang saat berdansa. sebab suatu kali kau
mesti menanam padi dalam sekali empat bulan. setiap pagi
dan petang kau mesti memberi makan itik. di telapak tangan
dan kakimu akan ada rengkahan dalam yang mungkin saja
tak bisa diperiksakan ke dokter kulit. sehingga mengharuskan
kau untuk memetik daun pucuk ubi, mengunyahnya, lalu
mengoleskan ke bagian rengkahan tersebut. sebab musim
di muka tak bisa ditebak, dan musim lalu tak akan begitu saja
bisa digenggam di tangan, untuk dibenamkan di angan-angan

Padang, 2010



Tanda pada Jalan

semestinya sebuah rambu, tanda dimana kau mesti
memilih berhenti atau berjalan. tapi kini kau masih
merupa seekor siput aku lihat, dengan cangkang keras
melenggang teramat tenang. semestinya sebuah rambu
atau tanda dimana kau mesti berdiri atau duduk
tapi hujan terlanjur datang di ini jalan, kau seakan
ingin menghilang, barangkali susup ke lubang-lubang
bandar tempat tikus sebesar kucing beranak-pinak

semestinya sebuah rambu, dengan tanda seru, “berhenti!”
atau dengan tanda tanya, “kemana?”

di ini jalan, entah tanda apa yang ditampakkan bagi
pertukaran waktu, musim tetaplah lain. di langit, gemuruh
bersiteru dengan hebatnya. dan hujan kini merupa ayat
ketakutan yang dikirim untuk sepasukan binatang, rumput
dan pohon-pohon. semestinya sebuah rambu, atau teja
dimana laut, karang, pulau dan batu-batu mengamuk
dalam genggaman tangan

semestinya sebuah tanda, seru atau tanya

Padang, 2010
Read more

Puisi Saya di Koran Kompas 1 Agustus 2001

0 komentar
Tanda pada Mata


selain tanda pada mata tak ada lagi yang aku ingat darimu
sebab waktu telah merupa lihai tangan si pandai besi yang
usianya kandas merubah besi padu menjadi pisau tajam

selain tanda pada mata tak ada lagi yang aku ingat darimu
hari-hari kini tinggal retak cangkang pada lokan dan umang-
umang dan jejak hujan yang pelan mengeriputkan daging

selain tanda pada mata tak ada lagi yang aku ingat darimu
sebab di sebuah kedalaman aku lihat bayangan lubuk makin
mengabur, dan dirimu pelan terhisap jauh ke dasarnya


Padang, 2010




Di Padang


di padang, di padang
malam mengubah sisa hujan sepanjang siang
di jalanan, ada juga jatuhan daun ampalam
daun bergetah masam

aku jadi ingat simpang empat kuburan panjang
tempat bis selalu betukar penumpang
di sana punggungmu menghilang
dan segepal rindu aku bawa pulang
(membayangkanmu, membayangkan lagi
deretan kios dan kaki lima
menyimak suara orang-orang yang
datang menghimbau, mata yang memukau)

dan di padang, di padang
aku menyaru lagi di ombak purus, di pantai yang kian bergaram
menyaru kau tiba. barangkali di musim depan
di sisa hujan dan jatuhan daun ampalam berikutnya


Padang, 2010
Read more

JALAN PUISI NO.25 Design by Insight © 2009