Tim Van Damme Inspired by Tim Vand Damme

About me

Foto saya
kelahiran Solok 29 April 1985. Besar di kenagarian Saniang Baka. Berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. "Pinangan Orang Ladang" kumpulan puisi pertamanya yang terbit tahun 2009 (FramePublishing, Jogja). Di blog ini akan ditayangkan puisi-puisi saya yang sudah terbit di beberapa media ataupun yang belum diterbitkan. Selamat membaca, semoga mendapatkan sesuatu di dalamnya!

Network

Blog

Sabtu, 07 Agustus 2010

Puisi-puisi saya di Koran Jurnal Nasional 8 Agustus 2010

Lengkisau Malam

lengkisau malam, lengkisau menghimbau sayup-sayup sampai
dan bayangmu mengabur di sepanjang jalan, seumpama terkubur

lengkisau malam, lengkisau begitu hebat menjemput sisa risau
aku jadi ingat kamu, pada bau rambut di subuh yang kalut

lengkisau malam, lengkisau menjadi bahasa parau si tukang kayu
ada juga terus dirimu, di jeda sebelum kulit kayu menggelupas baru

lengkisau malam, lengkisau adalah cinta yang tanggung dikebat erat
kita memaknai pangkal dan ujung temali, tak juga dapat disimpul

lengkisau malam, duh, lengkisau menarik aku lagi ke jalanan lama
aku tentu ingat kamu, dengan mata yang kian asing bila dipandang

Padang, 2010





Gerimis di Pagu

ada juga gerimis menyusup ke balik pagu, gerimis ragu, gerimis gugu
dan selepasnya, aku jadi ingat matamu yang mengandung hujan lebat

dan kudengar bunyi segerombolan unggas dengan sayap basah
antara pokok-pokok kayu yang pelan disupi kulit lumut, aku jadi kalut

mengingat musim yang telah merubah mata jadi punggung parang, dan
aku tak lagi berharap menguliti kayu manis, merambah gardamunggu

atau menebang semak agung yang sedaun demi sedaun merubah tubuhmu
jadi teramat gelap. begitulah, gerimis adalah ragu yang teramat nyansam

gerimis serupa gaib lain dari lakumu, dari laku waktu yang tak sepenuhnya
bisa dimengerti. serupa matamu yang genit, serupa jantungmu yang rumit

Gunuangpangilun, 2010



Bahasa Gulai


di kuali aku bisa menyimak bagaimana cara kau meracik bumbu
memainkan sendok, mencium wangi gulai pucuk ubi, memaknai
matangnya daging dengan hanya menyimak gelegak santan

barangkali menggulai seperti memaknai kangen yang terbengkalai
sebagaimana antara mata, hidung, dan lidahmu berusaha untuk saling
mengerti dengan caranya masing masing, duh, kengen yang teramat

aku menyimakmu lagi, tapi kini ada jarak yang begitu ampuh untuk
memutus temali antara sajak, kangen, dan gulai. kau akan mengerti
nanti seketika sajak ini pelan menghelamu dengan gaibnya yang lain

Gunuangpangilun, 2010




Tempat Bergantung

kau pilihlah dahan tempat bergantung, ada bagian kayu
basah dan kayu lapuk. sebab di antaranya ada sarang-sarang
semut, sela-sela bekas kencing musang, pembuangan
kotoran burung balam, dan tempat kumbang bermain jemari

kita tak pernah berbagi perihal tempat bengantung, sebab bergantung
adalah pelajaran dalam memilih, antara bertahan atau jatuh

Padang, 2010







Isi Dada Tiga Seribu


mengingatmu mengharuskanku menulis sajak dengan
isi dada yang tergadai tiga seribu

sebab bagimu, perjumpaan kita hanya sebatas dahaga
yang lepas dari segelas air tebu dan sepotong kerupuk angin

dada yang tergadai tiga seribu berisi sebuah jantung dan hati
yang akan digantung di lapak-lapak sepanjang jalan pasar
dan dijajakan dengan teriakan keras dan beringas

barangkali kau bisa membelinya lagi, seperti membeli kaus kaki
tempat sabun, atau karet rambut yang hanya digunakan sekali pakai
dan akan sehabisnya akan ditumpuk di kantong sampah kamar mandi

mengingatmu mengharuskanku menulis sajak dengan
isi dada yang tergadai tiga seribu

sebab bagimu, kangen telah merupa ratap si pedagang cendol
yang terlanjur mengaduk bumbu tapi hujan terburu-buru turun

Padang, 2010





Ukuran

seperti mengukur tali pegangan tukang beruk, genggaman yang
tak pernah sampai memberi isyarat buah mana yang mesti
dipelintir dan dijatuhkan. seperti itu juga menakar usia batang kelapa
dari jalinan serabut kulitnya yang dipulun si pembuat sapu
usia yang nantinya kandas jadi asap dan abu di tungku dapur

kita tak pernah benar-benar sampai memaknai ukuran, takaran
jalinan, dan pulunan ke dalam percakapan yang dibahasakan sajak
dan kita tak akan pernah jadi-jadi memaknai tali hari yang mulanya
telah mengebat jantung adam dan jantung hawa pada sepokok pohon

mestinya kalimat ini sampai padamu sebelum malam menimbulkan
gelombang pasang, dan laut akan menenggelamkan bagan-bagan yang
di lambungnya cuma ada sisa sisik dan lendir ikan. kalimat ini mestilah
kau baca, sebelum siang datang dan laut terlanjur digaramkan

akhirnya aku jadi juga menulis sajak tentang ukuran, tali, laut dan
garam di kamar seorang penyair yang di kepalanya hanya tersisa
letusan perang di bukit-bukit. dan tubuhnya telah diberatkan oleh
onggokan segala jenis ikan laut di timbangan sebuah pasar raya

kau tak mesti membaca sajak ini dengan menutup hidung, seolah
mencium bangkai ikan di muara pemberhentian bagan. kau juga tak
perlu mengukur dan menimbang, seberapa panjang dan berat sajak ini
telah menggaduh malam-malammu. sajak yang mengebatmu dengan
seutas tali, yang ujung dan pangkalnya semakin hilang jika ditarik

Padang, 2010



Roti Gandum dan Coklat Panas

kau pastinya akan terbangun dini hari, atau tidak
tidur sama sekali menunggu kiriman dariku. di kotaku
subuh belum selesai benar merapikan wajahnya
dan kali ini aku mendengar ponselku berdering kencang
dengan nada tak biasa. sementara di telingaku masih
terngiang pernyataanmu semalam: “besok aku akan
menghubungimu lagi, mengingatkan kau mesti mengirim
roti gandum dan segelas coklat panas, dua buku yang
kau pinjamkan telah selesai kubaca tak lebih dari
seminggu. satu buku benar-benar sunyi bahasanya
satunya lagi tidak ingin aku pahami, sebab aku tidak
akan berusaha mengingat apa yang telah aku lupakan
jika kau tidak datang esok pagi maka sunyi akan
lengkap benar adanya”

kau pastinya akan terbangun dini hari, atau tidak
tidur sama sekali menunggu kiriman dariku. di kotaku
subuh belum selesai benar merapikan wajahnya
dan kali ini aku mendengar ponselku berdering kencang
tapi bukan nada khusus yang aku pesankan buatmu

Padang, 2010



Belajar Pulang

kelak kau mesti pandai memetik buah kopi, menguliti
kayu manis, menggalah buah jambu dan membendung
tumburan air sawah. sekali sepekan kau mesti ke balai
buat membeli perlengkapan memasak yang hany akan
cukup untuk tiga hari makan saja. sebab esok kita tak
bisa membayangkan bahwasanya di kota yang
penuh dengan asap knalpot dan musik berjalan ini akan
turun hujan terus-menerus atau akan panas berpanjangan
dan mengharuskan kita untuk pulang, menyiasati musim
yang akan merubah bagian tubuhmu. mulai dari bentuk
mata, warna kulit, sampai caramu berdandan dan berjalan

aku menganggap hari ini seperti menanam biji buah di
sepetak tanah. barangkali kita akan menyaksikan ia tumbuh
besar, berputik dan menikmati sampai batangnya tumbang

sesekali kau mesti melupakan kalimat yang tumbuh dari
pohon oak, guguran daun arbei, alunan musik blues, dan
dekapan di pinggang saat berdansa. sebab suatu kali kau
mesti menanam padi dalam sekali empat bulan. setiap pagi
dan petang kau mesti memberi makan itik. di telapak tangan
dan kakimu akan ada rengkahan dalam yang mungkin saja
tak bisa diperiksakan ke dokter kulit. sehingga mengharuskan
kau untuk memetik daun pucuk ubi, mengunyahnya, lalu
mengoleskan ke bagian rengkahan tersebut. sebab musim
di muka tak bisa ditebak, dan musim lalu tak akan begitu saja
bisa digenggam di tangan, untuk dibenamkan di angan-angan

Padang, 2010



Tanda pada Jalan

semestinya sebuah rambu, tanda dimana kau mesti
memilih berhenti atau berjalan. tapi kini kau masih
merupa seekor siput aku lihat, dengan cangkang keras
melenggang teramat tenang. semestinya sebuah rambu
atau tanda dimana kau mesti berdiri atau duduk
tapi hujan terlanjur datang di ini jalan, kau seakan
ingin menghilang, barangkali susup ke lubang-lubang
bandar tempat tikus sebesar kucing beranak-pinak

semestinya sebuah rambu, dengan tanda seru, “berhenti!”
atau dengan tanda tanya, “kemana?”

di ini jalan, entah tanda apa yang ditampakkan bagi
pertukaran waktu, musim tetaplah lain. di langit, gemuruh
bersiteru dengan hebatnya. dan hujan kini merupa ayat
ketakutan yang dikirim untuk sepasukan binatang, rumput
dan pohon-pohon. semestinya sebuah rambu, atau teja
dimana laut, karang, pulau dan batu-batu mengamuk
dalam genggaman tangan

semestinya sebuah tanda, seru atau tanya

Padang, 2010

0 komentar:

Posting Komentar


JALAN PUISI NO.25 Design by Insight © 2009