Oleh: Esha Tegar Putra
Anggapan mengenai kesusastraan Sumbar (baca: Sumatra Barat) yang semakin “baik” barangkali benar adanya. Secara kuantitas, terlihat dari penyebaran karya-karya sastra yang lahir dari penulis-penulis Sumbar. Tulisan ini bukan untuk mengelu-elukan penulis sastra, juga bukan menjamah wilayah kritik sebuah karya, tapi sebatas wacana memunculkan kritik sastra yang ideal. Kritik objektif di mana karya akan diterima secara layak oleh masyarakat luas.
Sebagaimana Afri Meldam mempertanyakan keberadaan kritik(us) sastra melalui tulisannya yang berjudul “Apa Kabar Kritik(us) Sastra Sumbar?” (Padek, 21 /2/ 2010) dan sisambung Joni Syahputra dalam “Minim Kritikus Sastra; Menunggu Rekasi Tertua” (Padek, 28/ 2/ 2020)—di sini agak sedikit ambigu antara judul “tertua” dengan isi tulisan tertulis “tetua”.
Krisis Kritik
Persoalan sastra dengan kurangnya (minim) kritik merupakan persoalan klasik. Keluhan tersebut tidak saja terjadi di Sumbar, bahkan Indonesia. Adakah sebabnya karena ranah kritik bukanlah akar dari kebudayaan kita, sehingga kita abai terhadap kritik? Ada baiknya kita menengok lagi ke belakang mengenai kritik dan kesejarahannya.
Konon kritik berawal dari Xenophanes dan Heraclitus (Yunani, 500 SM) yang mengecam Homerus melalui karya-karyanya yang dianggap kebohongan belaka dan tidak senonoh mengenai dewa-dewi. Sehingga Plato, seorang pemikir besar menganggap peristiwa tersebut merupakan pertentangan purba antara komedi dan filsafat.
Keterbukaan kritik berlanjut pada karya Euripides, seorang penyair tragedi. Kritik ini dilakukan oleh penyair komedi Aristophanes (405 SM), karena Euripides dianggap terlampau menjunjung tinggi nilai seni, dan luput terhadap nilai sosial yang melatari syair-syairnya. Dari sinilah berpangkal istilah krites (hakim), kata kerja krinein (menghakimi), criterion (dasar penghakiman), dan muncul kritikos (hakim karya sastra).
Jauh setelah itu, di Inggris John Dryren di tahun 1677 dalam pengantar The State of Innocene, memunculkan istilah criticism sebagai pengaminan chatarsis dalam Poeticsnya Aristoteles. Barulah Bouhours (1687) di Prancis memunculkan istilah critique dalam Manierre de bien penser—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Art of Critism.Bagaimana dengan permunculan kritik di Indonesia?
Di Indonesia istilah kritik sastra muncul di awal abad ke-20, bukanlah sejarah yang panjang dibanding Barat. Barangkali ini pangkal untuk menemukan hubungan karya sastra dengan kultur masyarakat yang melingkarinya. Di awal abad 20-an tersebut, Tirto Adhi Soerjo telah berkomentar mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Bahkan majalah Pandji Poestaka menyediakan rubrik “Memandjoekan Kesoesastraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisyahbana. Maman S Mahayana berungkap, edisi 5 Juli 1932 di majalah Pandji Poestaka muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesastraan”, bahkan di edisi November 1932—Maret 1933 berturut-turut Alisyahbana menulis artikel “Menoedjoe Kesoesastraan Baroe”. Secara jelas artikel-artikel di atas memakai istilah “kritik” pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Dari awal munculnya istilah kritik sastra Indonesia sampai kritik mutakhir, pola dan sistim kerjanya terus berubah, bahkan mempunyai setiap dekade mempunyai standar tertentu. Bisa saja persoalan ini muncul karena rezim kekuasaan, kebaruan karya, atau pola pikir kritikus yang mengikuti perkembangan kritik di Barat. Sebut saja laku kritik, pada dan setelah kependudukan Jepang di Indonesia. Melalui konsep estetik, kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan, serta humanisme universal menjadi perdebatan sengit melalui karya-karya sastra Angkatan 45.
Berlanjut pula polemik terhadap karya-karya sastra yang dimunculkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang memberi ide untuk HB Jassin menulis buku kritik sastra Indonesia, juga Teew menulis buku Pokok dan Tokoh. Sampai pada rezim Orde Baru yang menentukan konsep kerja dan laku kritik dalam perdebatan dua aliran, antara aliran Rawamangun dan Ganzeit. Inilah yang membuat kritik sastra menjadi kajian penting dalam institusi yang bergerak di jalur kesusastraan.
Yang menjadi pertanyaaan saat ini, kenapa—jika pada dekade 1920-an sampai 1990-an muncul kritik sastra dari Alisyahbana, HB. Jassin sampai Pradopo, Esten, Damono, dll—pada dekade kemunculan karya sastra mutahkir ini terjadi krisis kritik? Barangkali berawal dari ini Afri Meldam dan Joni Syahputra mempertanyakan tentang keberadaan kritikus di Sumbar.
Siasat Krisis Kritik
Pada diskusi refleksi setahun sastra Sumbar di markas Magistra pada malam pergantian tahun (30/12/2009) telah dibahas juga persoalan ini. Tiga uraian pemakalah, yakni Romi Zarman, Deddy Arsya, dan Papa Rusli Marzuki Saria memunculkan silang pendapat. Deddy Arsya menganggap bahwasanya tidak adanya penulis sastra dari Sumbar yang intens mengangkat kesejarahan. Sedangkan Romi Zarman memaparkan sistematis kerja kesusastraan (karya, kritikus, media, pembaca), dan Papa Rusli lebih fokus pada muatan karya melalui studi yang akan membuat karya lebih menggema.
Tetap saja persoalan berhulu dari karya dan bermuara pada pengharapan adanya toekang kritik yang mahir dan bijak-bestari. Apakah kita akan terus berharap pada kritikus di luar daerah sana? Anggapan saya, tentulah ada yang berharap. Ada juga yang membiarkan begitu saja karyanya beredar di halaman-halaman sastra, semisal koran. Dibaca orang, lalu terserah pembaca apakah mereka mengganggap karya sebagai narasi “pencerahan” atau tidak. Syukur-syukur ada penikmat sastra yang mengkliping halaman koran tersebut sebegai referensi. Jika tidak, tentulah halaman koran tersebut jadi alas duduk di kereta api, terbuang, dipungut pemulung untuk dijual kiloan. Jadilah karya pembungkus nasi ramas, gorengan, ikan teri dan terasi. Hal yang jauh dari jangkauan kritikus tentunya.
Apakah sebaiknya kita berharap laku kritik muncul dari institusi formal atau informal yang bergerak di bidang sastra; semisal fakultas sastra, dewan kesenian, komunitas-komunitas sastra—seperti anggapan Joni Syahputra tentang adanya proses yang salah? Memang benar adanya, fakultas sastra dengan beragam jurusan termasuk Sastra Indonesia, dipersiapkan untuk melahirkan akademisi (kritikus) sastra dengan ketajaman pisau analisis dan ragam teori anyar-nya, dari strukturalis beku sampai lesatan postmodern. Akan tetapi laku kritik formal berbeda dengan laku kritik informal.
Pada tataran ini saya setuju dengan Mahayana dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia (hal 248-249) yang menyatakan penulis kritik sastra relatif sedikit karena menyangkut minat dan juga dosen atau mahasiswa sastra sangat sedikit yang rajin mengkritik sastra dalam bentuk artikel di media massa. Menulis artikel ibarat salah satu sekrup dari mesin raksasasa yang bernama kewajiba rutin. Juga penghadiran kritik sastra dengan teori canggih dan metodologi akurat di wilayah akademik (formal) berbeda dengan penghadiran pada masyarakat yang sifatnya lebih populer (informal).
Dibutuhkan kepiawaian bagi akademisi sastra untuk merubah kertas kerja semacam artikel dan skripsi untuk menjadi artikel lepas yang mudah dipahami oleh masyarakat umum—hal ini yang sebenarnya harus dibawahi.
Bagaimana dengan institusi non-formal? Jika para penulis sastra berharap penuh pada institusi non-formal seperti dewan kesenian dan komunitas-komunitas sastra untuk meningkatkan laku kritik terhadap karya, tentu juga tak bisa. Barangkali baru Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang berani dan intens mengadakan sayembara penulisan kritik. Atau barangkali Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) sanggup menghadirkan sayembara kritik di ruang lingkup daerah dengan mengapresiasi karya anak daerah? Juga Balai Bahasa, Putaka Daerah, dengan menambahkan list sayembara kritik sastra?
Jadi di mana letak benang merah yang akan mendekatkan karya dengan pembaca jika karya tidak digawangi oleh kritik? Bagaimana pula pengharapan Joni Syahputra terhadap tetua (tanpa tanda kutip) untuk mengetahui letak salah dan kekurangan (tanpa tanda kutip)—dan jika ada kata tua, pastinya ada kata muda, sebentuk menara gading yang harus dihancurkan dalam dunia proses kreatif. Dan salah-kurang berupa nilai berlawanan karya sastra merupa proses kerja estetik yang harus direka diberi makna.
Kiranya untuk ukuran kesusastraan kita di Sumbar ruang untuk kritik terbuka lebar di halaman budaya koran-koran lokal, tak mungkin berharap pada redaktur sastra yang sudah repot menyeleksi dan memberi ruang, atau berharap tetua menulis kritik karya secara berkala.
Siapapun berhak dan bisa menulis kritik apresiatif. Bahkan seorang pencipta karya pun berpantang membahas karya penulis lain. Inilah istilah “kiper maju” untuk pencipta yang juga pengkritik, barangkali solutif bagi pertanyaan-pertanyaan tentang krisis kritikus. Untuk itu, anggapan tentang kritik sastra itu “berat” harus ditepis dengan sosialisasi penulisan kritik (telaah) “ringan”, apresiatif dan populis, agar ruang kritik merupa pintu bagi siapa saja. Juga penerimaan masyarakat terhadap karya sastra, melalui pembacaan telaah ringan lebih mudah termaknai.
Sungguh persoalan krisis kritik bukan hanya dikarenakan kurang atau tidak adanya kritikus. Tapi disebabkan juga karena adanya kaum anti-kritik yang menganggap laku kritik sastra akan “membunuh” karya dan karakter. Laku kritik juga tidak cukup dengan “rasa” saja, tapi “logika”, jika benar ingin kritik bersih dari beragam gangguan di luar karya.
Laku kritik juga bukan sebuah laku untuk mempertanyakan siapa yang berhak jadi sastrawan (seperti essai JE. Tetangkeng tahunan silam), atau sikap pesimistis yang menganggap sirkum kepenulisan Sumbar bak terseret ke dalam lingkaran setan. Laku kritik harus berlandaskan teks karya, tidak sebagai pengmatan dari cara berjalan, cara berdialektika-berwacana. Sebab laku kritik bukan corong infotaimen, bukan laku “pembunuhan” tapi pemaknaan terhadap teks karya baik yang tersirat (implicit) atau yang tersurat (explicit).
Jikapun boleh dipakai istilah “membunuh” di titik kulminasi kritik, tentulah kritik yang cermat akan “membunuh” berlandaskan filosofi silat Minang: mahampang-malapehan, mambunuh-maiduik’an… dengan begitu kritik benar-benar telah menjadi pijakan untuk mengukuhkan nilai-nilai manusiawi dalam karya (teks), telah menempatkan karya pada arti dan nilai yang sepantasnya. Bagaimana, adakah setelah ini yang berminat menulis kritik (telaah) ringan, apresiatif dan populis?
About me
- Esha Tegar Putra
- kelahiran Solok 29 April 1985. Besar di kenagarian Saniang Baka. Berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. "Pinangan Orang Ladang" kumpulan puisi pertamanya yang terbit tahun 2009 (FramePublishing, Jogja). Di blog ini akan ditayangkan puisi-puisi saya yang sudah terbit di beberapa media ataupun yang belum diterbitkan. Selamat membaca, semoga mendapatkan sesuatu di dalamnya!
0 komentar:
Posting Komentar